Sumber Foto : Kaskus |
Media sosial, realita antara kebaruan atau saluran syahwat kebablasan. Bukan hal mencengangkan ketika media sosial telah menjadi ruang komunikasi baru bagi masyarakat di era kekinian, berbagai bentuk penampilan model komunikasi dari tradisional sampai modern dapat ditemukan disana. Jubah baik dan buruk tidak terlalu sulit ditemukan dalam ruang-ruang postingan. Kalau ingin lebih sibuk memperhatikan secara seksama dengan menelusuri lebih dalam, ruang postingan, kita akan sampai pada satu kesimpulan, bahwa media sosial ternyata lebih banyak didominasi oleh postingah berbau tebaran kebencian.
Kalau harus voting, pasti semua akan bersepakat bahwa kebencian adalah perbuatan sangat buruk dan ditolak banyak orang. Tapi apa mau di kata, sebanyak apapun perkataan menolak kebencian, kalau mental memang buruk, maka semuanya itu hanya akan menjadi kata-kata bijak dalam mimbar-mimbar tertentu. Kalau dari sananya memang sudah punya penyakit itu, dimana saja bisa buruk, bukan di media sosial saja, mungkin meja billyar sampai meja domino hingga meja hijau akan tetap melakukan tebar kebencian. Semua peselancar dunia maya pasti telah paham, bahwa media sosial adalah media publik yang siapa saja bisa mengaksesnya. Artinya, kalau termasuk media publik dan bebas untuk diakses tentunya memiliki aturan hukum. Jika penggunaaannya dengan cara salah, pasti akan berhadapan dengan hukum serta sanksinya dari aparat penegak hukum.
Sangat jelas penjelasan Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Aturan ini mudah didapatkan di internet. Tapi yang sangat disayangkan walaupun aturan ini diketahui, tapi masih saja ada yang tidak bisa membatsi dirinya karena benci yang teramat dalam dan tak beralasan. Saya pribadi menyebut kebenciian ini adalah benci kebablasan.
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mengatakan, hampir 91 persen berita hoax yang disebar memuat konten sosial dan politik. Dalam dunia milenial saat ini, mamang tidak bisa dipungkiri media sosial sudah menjadi bagian pelengkap aktivitas kehidupan manusia. Media sosial bagi kebanyakan orang telah menjadi virus yang telah menyatu dengan dirinya, sehingga baginya tak bermedia sosial hidupnya terasa hampa. Kemudian media sosial telah menjadi sarana tanpa batasan generasi, lihat saja hampir semua umur menggunakan media sosial dengan pemaknaan cara yang berbeda-beda.
Menurut Sembiring, di era globalisasi, perkembangan telekomunikasi dan informatika (IT) sudah begitu pesat. Teknologi membuat jarak tak lagi jadi masalah dalam berkomunikasi. Internet tentu saja menjadi salah satu medianya. Data dari Webershandwick, perusahaan public relations dan pemberi layanan jasa komunikasi, untuk wilayah Indonesia ada sekitar 65 juta pengguna Facebook aktif. Sebanyak 33 juta pengguna aktif per harinya, 55 juta pengguna aktif yang memakai perangkat mobile dalam pengaksesannya per bulan dan sekitar 28 juta pengguna aktif yang memakai perangkat mobile per harinya. Lumayan banyak kan ?
Hanya saja dari sekian banyak pengguna media sosial tersebut, ternyata masih banyak orang tanpa batasan umur, mengingkari bahwa tujuan terciptanya alat komunikasi yang satu ini, adalah untuk memudahkan orang-orang saling berinteraksi dan bersilaturahmi. Tapi sayang seribu kali sayang masih ada saja, yang merusaknya dengan menebar kebencian demi melampiaskan kegalauan, zahwat serta untuk mencapai orientasi yang diinginkannya. Seyogyanya digunakan untuk menginsiprasi orang banyak, tapi digunakan untuk melakukan fitnah, memaki dan menghina orang lain. Orang yang cerdas berselancar tentunya tidak akan pernah melakukan itu. Orang cerdas menginsiprasi bukan menyebarkan hoax apalagi membenarkannya. Cerdas bermedia sosial itu penting.
" NETIZEN ITU HARUS MENYEHATKAN & MENGINSPIRASI"
0 Komentar Anda:
Post a Comment