Menjadi manusia ternyata tidak semudah pengakuan, untuk membuktikan itu semua diperlukan suatu tindakan yang lebih jauh dari sekedar pengakuan. Keyakinan saja hanya akan menjadi bukti sepihak dari segala pengakuan yang ada. Ukuran pasti agar pengakuan itu menjadi objektif dibutuhkan kesadaran sebagai penyempurnanya. Hampir di semua dataran pemikiran menyatakan bahwa manusia adalah mahluk berakal, dengan akalnya lah manusia mampu berfikir tentang baik dan buruk pada sesuatu. Sehingga sesuatu itu dapat dipilih atau tidak, hanya saja ketika akal manusia telah memastikan tentang baik buruk disinilah dibutuhkan kesadaran. Banyak orang tahu bahwa ini dan itu adalah buruk atau baik, tetapi tidak semua pengakuan tahu itu membuat manusia akan memilih yang baik, dan tahu bahwa itu buruk tetapi tetap menjadi pilihannya, ini dikarenakan tahunya tak memiliki kesadaran pada ketahuannya.
Problem inilah yang menjadikan manusia telah masuk pada krisis kesadaran. Bukan rahasia lagi, bahwa semuanya tahu bahwa sebuah bangsa dibangun dari perjuangan panjang dengan pengorbanan yang tidak mudah, tetapi masih saja kita bisa temukan ada saja yang berupaya merusaknya dengan cara-cara kotor. Mari kita lihat bagaimana gencarnya individu dan kelompok dengan masif dan aktif memasarkan keburukan di media sosial dengan memprogandakan berita kebohongan alias hoax, pamer argumentasi sampai saling meledek serta menghujat satu sama lain. Saya meyakini bahwa mereka tahu, bohong, hoax, meledek dan menghujat itu buruk tapi mereka merasa bangga dengan hal itu.
Di dunia berbeda saat ini, mereka berupaya menjadi orang baik, memberi nasehat dengan segala titahnya, dan segala kebenarannya yang tak pernah mau dianggap salah, sedikit dianggap salah cap sesat dan kafirpun menjadi penangkalnya. Kemudian mudah sekali kita menemukan derasnya pemerkosaan pengetahuan yang dilakukan dengan mengambil hak pada ahlinya, yang lucunya lagi ketika sang ahli akan meluruskan kesalahan dari pemaknaan pengetahuan tersebut, sang ahli pun harus pun dituduh dengan kesesatan dan kekafiran.
Sangat mudah dtemukan, tinggal memasukkan email dan paswoord di akun media sosial, maka akan kita temukan berbagai umpatan-umpatan tersebut. Seyogyanya media sosial menjadi landang orang cerdas yang memiliki kesadaran untuk memperbaiki manusia secara mudah. Ketika mereka berupaya, seketika itu pula mereka akan menjadi bahan bully, di cap sesat dan kafir oleh orang-orang bodoh tapi haus aksesoris citra dan sahwat prestice. Meraka sengaja melakukan itu, agar mereka mudah menguasai pikiran dan merusak moralitas masyarakat.
Belakang ini ternyata ditemukan sekelompok orang menamakan dirinya saracen. Kelompok ini adalah orang-orang bayaran yang terlibat aktif di media sosial untuk mewartakan berita-berita bohong di tengah masyatakat. Tentu saja kita sangat paham apabila ada kata "bayaran", ini menandakan bahwa semua kejadian-kejadian yang dilakukannya di media sosial tendensi rupiah.
Segmen mereka pun semuanya untuk merusak tatanan masyarakat, didahului dengan merusak citra pemerintah dan para ulama. Mereka menuduh serta menfitnah pemerintah dan ulama untuk menyasar kaum tak berpendidikan. Tapi apa mau dikata, kenyataannya berbeda, bukan hanya orang-orang tak berpendidikan. Yang berpendidikan pun juga menjadi santapan lezatnya. Ini bukan karena mereka sarjana, magister dll. Sehingga dapat terlepas dari jeratan jahat tersebut, karena tak berpendidikan maupun berpendidikan bukanlah jaminan selama tak memiliki kesadaran, maka akan menjadi santapan. Ini namanya sekali mendayung dua pulau terlampaui.
Mereka tak pernah memikirkan tentang moralitas, di benak mereka hanya ada rupiah dan popularitas. Cerita dan berita penyakit kawanan pejabat publik (KKN) sampai dengan pesawat yang mampu mendarat sendiri diceritakannya secara khidmat walau semua itu tanpa kejelasan fakta, yang muaranya memang untuk merusak dan kalau perlu berdebat sampai adu jotos.
Ironisnya, reaksi dan aksi yang dimainkan oleh para manusia seperti ini, yang sangat jauh dari kata rasional dan sangat kering serta tandus rasa empati dan simpati, tapi masih saja mudah dipercaya. Padahal jangankan memikirkan solusi, menjawab pertanyaan saja mendahulukan makian dan fitnah, yang justru tidak sedikit mereka akan saling menyalahkan satu sama lain ketika terdesak. Tapi kenapa masih ada saja yang percaya, sampai harus rela membela, itu semua karena kebanyakan manusia saat ini berada pada krisis kesadaran.
0 Komentar Anda:
Post a Comment