Pages

Friday, 24 August 2018

Meiliana & Tertindasnya Kaum Minoritas

Gambar mungkin berisi: 4 orang, dekat

Kasus yang melanda ibu Meiliana telah menggambarkan kepada kita dari sekian banyak gambaran yang ada, bahwa eskalasi kebencian akan terus semakin tinggi, jika kita terus membiarkan ormas atau kelompok tertentu berkembang biak dengan segala caranya dalam menanggapi berbagai persoalan, yang berlindung dan bertopeng dibalik payung hukum penistaan agama, tetapi doyan merusak ketertiban dan kerukunan.
Hukum universal agama yang selayaknya memperjuangkan kemanusiaan dan welas asih telah dilindas oleh kaum-kaum yang onar membuat keribuatan dengan simbol agama. Minoritaspun harus tunduk dan takut terhadap mayoritas yang menghalalkan segala cara untuk menindas dan merusak kelompok-kelompok tertentu yang tak punya kekuatan untuk melindungi diri.
Pluralisme dan toleransi pun hanya sekedar konsep dan konteks dasar yang melindungi kaum mayoritas, dengan berbagai desakan dan kebijakan melalui presentasi sepihaknya. Curhat yang sekedar berbentuk pertanyaan tentang volume pengeras suara adzan pun telah dianggap sebagai sebuah penistaan agama, dan menjadi sebuah alasan untuk melakukan pengrusakan terhadap rumah Ibadah. Dimanakah letak manusiawi dan rasa penyayangnya kita ?
Jangan sampai ini terus mengakar dan mengobrak-abrik kerukunan, dan ruang-ruang dialog dalam membuktikan kebenaran agama pun nantinya akan dijadikan sebagai sebuah bentuk penistaan agama. Jika cara-cara sperti ini terus dibiarkan menjamur, hanya akan menjadi topeng orang-orang tertentu dalam mengelabui umat manusia. Kasus ini sekaligus menguji kita yang mayoritas untuk bisa konsisten dengan segala semboyan toleransi dan penuh rahmat yang dapat menerima perbedaan yang selama ini kita gaungkan.

#AlumniSKK1
#SalamPancasila
#Identitas adalah tanda pengenal

Perbudakan Ala Demagog

Gambar mungkin berisi: satu orang atau lebih dan orang berdiri

12 Years a Slave sebuah film yang dirilis tahun 2013, yang diadaptasi dari memoar 1853. Film dengan sudut cerita tentang perbudakan yang dialami oleh Solomon Northop dan kulit hitam di AS. Sudah pada nonton ?, kalau belum luangkan waktu sesekali untuk menontongnya.

Apakah ada stuntmannya ? ya, karena namanya juga film.

Film dengan garis merah rasis dan kebencian telah menciptakan perbudakan pada manusia yang pernah melanda dunia ini. Tentu semua mahfum bahwa perilaku rasis, membudaki sampai dengan membenci adalah perilaku orang-orang menganggap dirinya lebih unggul dari yang lainnya. Kekejaman-kekejaman dialami Solomon, mengambarkan betapa kejamnya berbudakan yang alami oleh orang dahulu.
Jaman berbeda, ternyata perbudakan tidak hilang begitu saja, tetapi bermetamorfosis dengan rupa yang berbeda. Dulu untuk menguasai orang lain, kuasai fisiknya, maka seluruhnya telah kamu telah kuasai. Sekarang tdk bisa, karena melanggar HAM. Maka, cukup kuasai pikirannya, melalui berbagai sebaran narasi dan wacana-wacana yang membuat orang menjadi rasis dan saling membenci.
Menguasai nalar seseorang dengan pola demagogi, perbudakan jenis baru. Dulu budak diperlakukan kejam, model demagogi budak dibuat kejam. Jenis perbudakan jaman dulu, tuan yang mengatur ritme yang dibudaki, sedangkan pola demagogi, tuan yang mengikuti ritme budak agar mau budaki. Tuan dlm pola demagogi adalah aktor (demagog) yang menampilkan berbagai bentuk wajah sesuai kategori masyarakat. Sok membela, tetapi menyuntikkan atau mentransfer opini, keyakinan dan kebenciannya dengan berbagai manipulasi sambil serta mengkambing hitamkan serta menyerang orang lain yang dibencinya.
Dilakukan secara terorganisir, aktif dan masif agar target dapat dan mudah dikuasai. Ketika target telah dikuasai, maka seketika itu pula target telah menjadi budak oleh sang tuan (aktor). Kapan saja aktor ingin menyebar kebencian, disitulah tugas sang budak untuk memuluskannya.

Apakah anda budak ?
Tergantung, apakah anda rasis dan penebar kebencian.


#SalamPancasila
#Identitas adalah tanda pengenal

Bego Jangan Dipelihara

Gambar mungkin berisi: 2 orang, orang tersenyum, teks

Ya sudahilah dulu nyinyirnya, Asian Games itu bukan agenda Pilpres, tapi agenda negara kawan. Mari kita menciptakan suasana sejuk untuk tamu-tamu kita dari 45 negara Asia. Kalau tidak bisa selamanya, sementara waktu saja. Kenapa saya ngajak sementara waktu, ya karena saya paham, orang suka nyinyir itu otaknya dibawa rata-rata. Bedain tempatlah supaya tidak bego.
Tapi masalahnya kalau orang bego diajak untuk ngerti tempat, sama aja ngajak kambing untuk mandi pagi. Soalnya begonya dipelihara. Kawanku yang dibawa rata-rata, aktor Hollywood aja pasti pakai stuntman, jangankan orangnya, lokasinya aja pakai stuntman, memangnya ada orang lari-lari dan loncatan-loncatan di planet lain ?, itu hanya ada di film-film. Apalagi ini kepala negara. Ini film kawan, dalam rangkaian opening ceremony, tahu kan film ?, kalau ngga tahu bego mu sudah di atas rata-rata.
Mengomentari Presiden untuk jujur tentang siapa jumping dan kisah heroik lainya, itu sama saja meminta film-film untuk jujur dalam setiap kejadianya. Kan ini bego namanya. Pintar dikitlah untuk menangkap makna dari serangkaian kegiatan di opening ceremony, tidak terjebak dengan nyinyir yang tidak berkualitas.
Seharusnya kita berbangga diri, bahwa negara kita mampu menciptakan sebuah acara penjemputan tamu yang luar biasa bagi promosi kebudayaan, karakter dan kemajuan yang dihadapi oleh negeri tercinta kita.

"Janga lupa bahagia, biar tidak stress. Jangan kebanyakan nyinyir agar bahagia"

Nak Joni & Sang Serma

Gambar mungkin berisi: 1 orang, tersenyum, berdiri

Gambar mungkin berisi: 1 orang, tersenyum, luar ruangan

Nak Joni aku tahu semangat kemerdekaan, menggelora dalam dirimu, aku juga tahu bahwa yang kau lakukan itu bukan sebuah pencitraan, seperti kebanyakan yg dipertontonkan orang bermulut besar tapi minim prestasi, ketika kau berani memanjat tiang bendera demi menyelamatkan kehormatan dan kelalaian panitia pelaksana.
Tapi nak Joni nyawa dan masa depanmu lebih penting dari itu, jangan diulangi lagi nak, bagaimana jadinya jika kau terjatuh nak. Tapi kami tetap berterima kasih padamu, karena di 73 Tahun negeri ini, ketika orang yang lebih dewasa dari mu telah krisis jati diri dan krisis pengertian, tapi kamu yang masih belia telah mengajarkan kami tentang hikmadnya hari kemerdekaan. Nasionalisme mu diatas keraguan, mendidik kami yang dewasa dan sedikit terpelajar ini untuk tahu diri sebagai anak bangsa jangan hanya pintar berkoar, tapi minim prestasi dan kurang berbuat selain banyak mengeluh.
Oh iya terima kasih pula buat Serma Timbul Prawoto, yang sigap mengatasi kejadian yang serupa di lapangan Barepan. Mungkin sebagian orang menganggap itu kecil, tetapi di masa krisis jati diri dan pengertian sebagai anak bangsa itu sangat penting, kau bagai palu Mjolnir Tor yang menghujam nalar ingatan kami, untuk selalu mengingat bahwa tanah ini dibangun atas keringat dan darah pejuang yang tidak boleh disia-siakan hanya karena telah pintar bernarasi kata, menulis dan membaca.

#SalamPancasila
#Identitas adalah tanda pengenal

Napak Tilas Kemerdekaan

Hasil gambar untuk "Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan".~Pramoedya Ananta Toer~

Ketika mengenang masa lalu, orang terdahulu dengan semangat gempita, dengan nalar sehat dan membumi, tanpa terkotak-kotak sekat-sekat saya Muslim, saya Nasrani, saya Hindu, saya Budha ataupun saya mayor, saya minor, semuanya dengan satu bahu menyatu atasnama kemerdekaan. Nyata dan sekaligus berbedil keberagaman, kemerdekaan atas bangsa dan negara Indonesia diperolehnya secara khidmat dengan tetesan keringat dan darah kebersamaan.
Raih kemerdekaan, ternyata tidak membuat mereka untuk saling terkotak-kotak ego saya Muslim, saya Nasrani, saya Hindu, saya Budha maupun saya mayor, dan saya minor adalah sebagai pemilik sah bangsa dan negara ini, tetapi mereka menetapkan semboyan yang sah "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" adalah pemilih bangsa yang merdeka.
Dunia yang telah berbeda rasa dan nada, semboyan kemerdekaan telah tersekat oleh ego-ego partikularistik yang menghujam nalar kemerdekaan. Kemanusiaan telah murah dan tergadai oleh rasa dengki, kemuraman hati, dan buramnya pikiran karena semuanya telah merasa hebat dengan singgasananya, hingga mengklaim dirinya lah pemilik sah kemerdekaan.
Soekarno pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Mungkin maksud Soekarno bahwa pada masa mu, engkau akan berhadapan dengan para ego-ego yang serakah, berlabel sebagai pejuang tetapi membunuh kemanusiaan, mengaku bahwa wajahnya berbeda dengan yang lain, tetapi menolak keberagaman.
Mungkin ini pentingnya memahami dan berlaku adil sejak dalam pikiran, agar perbuatan selaras dengan pikiran yang berdiri di atas fakta. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragam dan berkemanusiaan, karena itulah ia merdeka.

~ 17 Agustus 1945 adalah Hari Kemerdekaan Keberagaman yang Berkemanusiaan Adil dan Beradab ~

#SalamPancasila
#Identitas adalah tanda pengenal

Jangan Diam

Hasil gambar untuk jangan diam
Foto: opini.id
Belakang ini kita saksikan ada seorang yang lagi berceramah di mesjid yang isi ceramahnya bukan tentang hikmah dan moralitas, tetapi berbau provokasi mengajak untuk melakukan revolusi. Woooww luar biasanya orang ini.
Ketika manusia ini telah lupa tugasnya untuk mengurusi kebaikan antara sesama, tidak memberi solusi bagi perkembangan dan kemajuan bangsa dan negara. Tetapi teriak sana-sini seperti orang paling benar di muka bumi ini. Genderang ganas, buas yang selalu disampaikannya mengajak untuk saling bertikai di atas jubah demokrasi dan kepentingan politik. Disini lah zona nyaman ini para siluman menggeruduk nalar dengan bisikan-bisikan maut.
Yang siuman dan waras jangan diam. Kata Buya Syafii, di tahun politik, demokrasi Indonesia harus tetap pada simfoni yang menyejukkan yang harus di arusutamakan. Jangan biarkan garis keras yang menganut teologi maut menguasai nalar kita dan berkambang begitu saja. Para penganut teologi maut yang mengajarkan berani mati, tetapi tidak berani hidup, hanya ada untuk merusak, setelah itu pergi dengan menyisahkan puing-puing kehancuran.
Yang siuman dan lagi waras, jangan hanya diam, sebelum kotamu, desamu dikuasai oleh para mereka yang paranoid, sebab kalau yg waras diam, mereka akan merajalela.
#SalamPancasila
#Identitas adalah tanda pengenal

Bersama Buya

Gambar mungkin berisi: 1 orang, lensa kaca mata

Sehari bersama Buya Ahmad Syafii Maarif di Kota Bogor sangat luar biasa, belajar tentang bagaimana menjadi manusia yang cinta akan bangsa dan negaranya. Di luar dugaan yang saya bayangkan, biasanya seorang tokoh akan nampak angkuh karena posisi prestisius yang disandangnya sebagai tokoh nasional. Tapi itu tidak berlaku bagi sang buya, ternyata gelar itu tidak mempengaruhi dirinya untuk tetap rendah hati, buya memposisikan dirinya seperti orang biasa, sebagai orang tua bagi anaknya dengan berbagai nasehat kemanusiaan diselingi canda tawa.
Buya tak ingin tasnya diangkat atau dibawakan orang lain, karena dia merasa masih bisa membawanya sendiri dan tidak ingin merepotkan orang lain. Itulah sang buya tetap mencontohkan kulminasi kemanusiaan yang sesungguhnya, walaupun dia hidup dalam tantangan pusaran zaman yang lagi krisis kemanusiaan. (karena buya telah selesai dengan dirinya.)

Gambar mungkin berisi: 5 orang, termasuk Opan Rahman, orang tersenyum, orang duduk, tabel dan dalam ruangan
Gambar mungkin berisi: satu orang atau lebih dan dalam ruangan
"Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif"
#SalamPancasila
#Identitas adalah tanda pengenal

Dua Periode Demi Keseimbangan

Gambar mungkin berisi: 5 orang, orang berdiri

Membangun Indonesia tentu tidak semudah bahasa kepentingan yang tertuang dalam setiap pamlet-pamplet politik. Indonesia adalah negara yang sangat luas wilayahnya, multikultur budaya dan keinginannnya, semuanya harus dipenuhi berdasarkan asumsi dasar kebutuhan. Asumsi dasar itu sebagai landasan pijak masyarakat bergerak menuju yang diimpikannya. Memenuhi itu sebagai tindak lanjut menuju tangga berikutnya, tangga dasar itu yang disebut dengan pembangunan Infrastruktur.
Sebagai contoh sederhana untuk membawa nalar kita memahami tangga tersebut, bahwa penjual sayur tidak akan menjajakan dagangan secara segar, jika waktu tempunya melampau masa segar sayur tersebut. Olehnya dibutuhkan sarana mempercepat agar jarak tempu penjual sayur lebih cepat dari yang seharusnya. Belum selesai sampai disitu, tempat menjajakkan yakni pasar sebagai hal sangat penting pula untuk ciptakan, karena percuma sayur yang ingin dijajakkan ada tetapi sarana menjajakannya tidak ada. Ini logika sederhana tentang pentingnya infrastruktur sebagai modal dasar perkembangan ekonomi rakyat.
Tentu membangun infrastruktur tidak semudah membalikkan telapak tangan, membutuhkan hitungan-hitungan yang memadai dan logis, belum lagi pada aspek sumber daya manusianya harus dipenuhi sebagai keseimbangan pasar. Untuk menciptakan keseimbangan ini 1 periode tidak cukup mengingat luasnya kebutuhan sarana dan prasana yang harus disiapkan dan memoles daya nalar masyarakat, untuk itulah 2 periode dibutuhkan agar tidak terputus rangka keseimbangan pembangunan.
#SalamPancasila
#Identitas adalah tanda pengenal

Citra atau Pencitraan

Gambar mungkin berisi: 7 orang, orang tersenyum, orang duduk

Label pencitraan sedemikian masif mudah melekat kepada seseorang sejak varian kamera dan era keterbukaan informasi dan komunikasi semakin beririsan satu sama lainnya. Ini pula yang melahirkan permainan baru untuk politisi dalam menghakimi politisi lainnya, tentu bagi yang berbeda kepentingan dan arah kekuasaan.
Citra dan pencitraan harus dipahami berbeda satu sama lainnya. Citra adalah tentang sebuah keyakinan yang telah terpatri dalam jiwa seseorang dalam berperilaku sosial. Sedangkan pencitraan sesuatu yang dibuat-buat oleh seseorang karena berdasarkan kebutuhan sosial yang diinginkannya.
Untuk memahami ini tidak cukup mudah, butuh keseriusan memahami gestur komunikasi verbal dan non verbal seseorang apakah selaras atau tidak dan juga harus mengetahui posisi sosialnya dihadapan publik. Selain itu, memahami track record seseorang atau mempelajari cara berperilaku sosial sebelumnya tidak kalah pentingnya.
Mengkaji Pak Jokowi dalam label citra dan pencitraan tentu akan melahirkan kesepakatan dan perbedaan pandangan tentang beliau. Tapi sedikitnya kita tidak bisa keluar dari garis yang ada sebagai jawaban sederhana, apakah beliau melakukan pencitraan atau tidak, dapat dilihat posisi beliau dalam ranah sosial, bahwa beliau seorang Kepala Negara yang tentu harus dekat dengan rakyatnya. (citra)
Mengenai gestur komunikasinya tentu muncul perdebatan dan pencarian serius mengenai hal ini, sedangkan mengenai track record mudah mengetahui di era keterbukaan seperti saat ini.
#SalamPancasila
#Identitas adalah tanda pengenal