Pendidikan
adalah gerbang sebuah bangsa untuk menjadi maju dan memiliki kepribadian,
sekaligus menjadi perantara generasi bangsa untuk berkarya dan saling menginspirasi
dalam setiap hidup dan kehidupan dalam berbangsa serta bernegara. Banyak
yang berkata, bahwa pendidikan adalah bekal untuk maju dan
berdayanya individu maupun masyarakat. Tentu ini membuktikan pendidikan
sangat penting, yang tidak boleh dibatasi hanya ruang (pengetahuan) tertentu
saja. Bahwa keseluruhan pendidikan, telah berlaku niscahaya untuk
diketahui oleh semua warganegara. Dengan demikian pendidikan
sangat wajib untuk setiap orang, tentu ini pula berlaku secara niscahaya
(mutlak) pada Pancasila. Apalagi Pancasila merupakan sebuah dasar atau
ideologi bangsa, kewajibannya lebih tinggi dari pengetahuan-pengetahuan umum
lainnya, yakni wajibnya untuk diketahui selaras dengan wajibnya untuk diamalkan. Pertanyaan
kemudian, bagaimana bentuk pendidikan Pancasila di sekolah ? Apakah
telah sesuai dengan wajibnya Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup
manusia Indonesia ?
Jika Pancasila
sebagai salah satu pendidikan yang kewajibannya melebihi dari pengetahuan umum yang harus diketahui, khususnya oleh setiap pelajar, maka kualitas dan
kuantitasnya harus pula melebihi dari lainnya. Artinya, pendidikan umum harus
lebih rendah dari pendidikan Pancasila, karena Pancasila sebagai dasar dari
segala bentuk Pendidikan. Tapi jika menelisik dari berbagai pengalaman
kekinian, membuktikan semuanya itu jauh dari panggang. Ini bisa kita buktikan ketika pendidikan Pancasila diukur dalam jumlah “waktu” dalam dunia pendidikan di
sekolah-sekolah hanya seperti hiburan pembuka dari pengetahuan-pengetahuan yang
dipelajari. Contohnya, pendidikan Pancasila hanya disiapkan
2 jam dalam setiap minggunya, itupun berbentuk dalam disiplin pendidikan
kewarganegaraan, berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya disiapkan waktu
3-4 jam dalam setiap minggunya. Gambaran sederhana ini sedikitnya memberikan
gambaran bahwa Pancasila tidak lebih mendasar dari pengetahuan-pengetahuan
lainnya yang ada di sekolah-sekolah. Belum lagi ditambah kurangnya perhatian
seorang pendidik dalam memahami Pancasila, serta membungkus cara dalam melakukan
pendidikan Pancasila dengan metode yang sangat membosankan. Maka tidak
salah jika kemudian Pancasila sangat tidak dipahami oleh setiap siswa, dan
cenderung telah terasing di benak setiap siswa.
Perilaku
yang tidak seimbang ini, antara pemahaman sebagai dasar negara dengan
penanamannya di benak setiap siswa, menyebabkan siswa tidak lagi mengenal jati
diri bangsanya yang sekaligus pula menjadi jati dirinya sebagai warganegara.
Kondisi inipun memunculkan keprihatinan, dekandensi moral siswa terjadi
di setiap lini kehidupannya, tindak kekerasan dan rasa malu tidak lagi menjadi
penting selama bisa eksis. Banyak faktor yang kemudian membuat Pancasila
menjadi terasing di negeri sendiri, selain persoalan “waktu” lamanya siswa
diberikan pendidikan Pancasila seperti yang telah saya sebutkan diatas, yang kemudian sangat krusial adalah Pancasila kebanyakan dijelaskan hanya sebagai pemenuhan
kewajiban kurikulum bukan sebagai pemenuhan kewajiban memahami Pancasila
sebagai arahan, pedoman, petunjuk atau pandangan hidup wajib manusia Indonesia.
Bahwa Pancasila menjadi arahan, pedoman, petunjuk dan pandangan hidup yang
mengatur tentang mesti dan tidak mesti dilakukan sebagai manusia Indonesia,
inilah yang kemudian banyak siswa tidak utuh dalam memahami Pancasila.
Subtansi
Pancasila sebagai petunjuk, pedoman dan pandangan hidup yang tidak banyak
diajarkan di sekolah-sekolah, inilah yang kemudian melahirkan kegagalan pelajar
memahami Pancasila, yang akhirnya krisis moralpun terjadi. Salah satu contoh,
ketika pelajar dihadapkan dengan perkembangan gadget dan aplikasi interaksi
penunjang lainnya dalam dunia komunikasi dan informasi, bebas browsing
tetapi tidak ada penjelasan bagaimana petunjuk, arahan dan pandangan hidup
bergadget menurut Pancasila, yang kemudian menjadi pagar pelindung dari
suguhan-suguhan yang tidak bermoral. Pancasila yang dibentuk oleh para pendiri
bangsa sesungguhnya menetapkan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup bagi
masyarakatnya mampu menjadi pelindung bagi keseluruhan kehidupan masyarakat
temaksud para pelajar, tetapi kenyataan yang ada sangat berbeda. Bagaimana
Pancasila dapat melindungi, kalau dalam dunia pendidikan saja Pancasila
dianggap biasa dan tidak penting, bagaimana bisa melindungi jika Pancasila yang
dipaparkan hanya sekedar dasar negara bukan sebagai pandangan hidup manusia
Indonesia.
Lemahnya siswa
melindungi dirinya dari perbuatan tidak bermoral, bukan karena lemahnya
Pancasila, tapi lemahnya sekolah memberikan pemahaman Pancasila. Sesungguhnya
peranan sekolah sebagai lokomotif utama dalam pendidikan Pancasila, sebagai penentu moral serta sopan santun para siswa, tentu
pendekatan-pendekatan yang dilakukan harus sesuai dengan level Pancasila itu
sendiri sebagai Pandangan hidup. Artinya, Pancasila harus dijelaskan sesuai
pendekatannya sebagai pandangan hidup, dimana pandangan hidup memiliki ukuran
yang mesti dan tidak mesti dilakukan. Bagaimana cara mesti yang dilakukan oleh
setiap pelajar dalam memahami, bermain dan memanfaatkan gadget beserta aplikasi
dan penujang lainnya.
*Ketika pelajar tidak mengerti lagi tentang Pancasila, selain hanya
menghafal sila-persila. Maka ada yang salah dengan sistem & pendidikannya.
Ketika pelajar tidak mengerti lagi tentang Pancasila, selain termotivasi
memperbanyak harta dan popularitas, maka ada yang salah dari motivator atau
pemberi contohnya*