Pages

Saturday, 5 October 2019

Mengaji Pancasila


Di alam pikiran masyarakat Indonesia, Pancasila adalah hal yang umum dikenal dan dipahami sebagai sebuah ideology kebangsaan, walaupun tidak sedikit pula yang mengenal Pancasila hanya sebagai sebuah symbol yang tak sempurna, mengenal nama tapi tak menghafal poin-poin yang terkandung dalam Pancasila. Belum lagi Pancasila tak dipahami secara makna dalam setiap sila-silanya. Tak dapat dipungkiri bahwa secara umum dalam alam pikir kebanyakan masyarakat Indonesia, Pancasila masih dipahami hanya dalam dataran secara aksidental, belum mengarungi secara subtansial mengenai Pancasila itu sendiri.

Ini masalah yang sangat mendasar, yang seharusnya dunia pendidikan kita harus dapat melahirkan sebuah paradigma umum tentang Pancasila dengan narasi-narasi subtansial sebagai azas dalam berbangsa dan bernegara Indonesia, yang kemudian dapat menyatu dalam tindakan-tindakan ideologis masyarakat Indonesia. Bahwa betul, Pancasila lahir dalam dinamika perjuangan bangsa ini, tetapi seharusnya Pancasila tidak boleh berhenti dalam tahapan tertentu dalam memahamkannya sebagai sebuah ideology. Ini pula yang kemudian banyak masyarakat Indonesia tidak dapat menghayati Pancasila baik di alam pikiran, baik pula dalam membentuk prilaku ideologisnya.

Dalam kerangka umum, pengajaran Pancasila selama ini yang banyak kita temukan dalam literature bacaan kajian-kajian tentang Pancasila hanya mengupasnya dalam aspek sejarah, belum ada yang mengabdikan dirinya mengupas pancasila dalam pembahasan sebagai sebuah Ilmu, maka tidak mengherankan kemudian masalah-masalah ideologis menjadi masalah-masalah yang tak pernah usang di bangsa ini. Akibatnya, banyak yang kemudian membenturkan pancasila dengan pandangan agama, dengan pernyataan bahwa agama sangat kontradiksi dengan pancasila, belum lagi kebijakan-kebijakan maut yang takut, ketika paham komunis, kapitalisme dan isme-isme yang lain menjadi bacaan penting dipikiran intelektual lainnya. Seharusnya kita sangat mengharapkan bahwa bacaan-bacaan tersebut tidak ditakuti, tapi sebuah wacana intelektual yang semakin menguatkan posisi pancasila sebagai sebuah ideology alternative dunia. Inipun jika sekiranya masyarakat telah kuat dalam memahami secara idelogis terhadap pancasila.

Sebelum memasuki gambaran sederhana tentang pancasila, terlebih dulu kita mengerti apa kemudian yang dimaksud dengan sebuah Ideologi. Dalam pengertian menurut pemikir yang menggeluti secara mendalam tentang kajian ideology, menyatakan bahwa ideology sebuah pembahasan yang istilahnya berdekatan artinya dengan pandangan dunia, tetapi posisi pandangan dunia lebih tinggi dari sebuah ideology. Dengan arti, pandangan dunia menempati posisi syarat wajib dalam sebuah ideology.

Pandangan dunia memiliki pengertian sebagai seperangkat keyakinan-keyakinan universal mengenai penciptaan alam semesta dan manusai, bahkan mengenai wujud secara mutlak. Sedangkan ideologi adalah seperangkat pandangan universal tentang sikap praktis manusia. Pandangan dunia memberi arti dalam memahami hubungan alam semesta dan manusia, sedangkan ideology menetapkan tindakan-tindakan praktis apa yang mesti dan tidak mesti dalam hubungan antara alam semesta dan manusia.

Akan tetapi hal yang harus diperhatikan secara penting, bahwa istilah ideologi tidak meliputi hukum-hukum partikulir, begitu juga dengan pandangan dunia tidak meliputi keyakinan-keyakinan parsial. Sehingga kita tidak boleh kemudian bingung ketika ada hukum keyakinan yang bersifat meliputi keseluruhannya masuk menjadi bagian dari keyakinan ideology, karena ideology tidak meliputi hukum partikulir. Artinya, bahwa ideology merupakan pemetaan tentang tindakan praktis manusia dari pandangan dan keyakinan-keyakinan yang universal. Bahwa kemudian ideology tidak memberikan pengertian tindakan praktis yang lebih khusus itu kemudian tidak menjadi masalah, karena seyogyanya ideology memang berbicara dalam tindakan praktis yang bersifat umum bukan tindakan khusus bagi manusia.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap ideology adalah pandangan serta keyakinan mengenai tindakan-tindakan keyakinan praktis manusia yang bersifat universal. Bahwa manusia harus berTuhan merupakan sebuah keyakinan yang tersifati sebagai keyakinan tindakan praktis universal. Begipula dengan berkemanusiaan, berkeadilan dan sebagainya. Jika merujuk pada poin-poin yang terdapat dalam Pancasila, maka secara subtansi telah memenuhi hukum pandangan dan keyakinan praktis universal yang layak disebut sebagai sebuah Ideologi. Kemudian banyak yang mempertanyakan dimana peran dan posisi agama dalam ideologi Pancasila. Peran agama sangat prinsipil dalam Pancasila, karena Aqidah dan tindakan praktis setiap agama-agama berperan sebagai pandangan dunia Pancasila, tentu yang keberkenaan dalam pengertian keyakinan universal setiap agama-agama tersebut, bukan dalam poin-poin khusus dan spesifiknya yang terdapat dalam setiap agama menurut tuntutan spesifik ajaran agama tentu.

Bahwa setiap agama mempercayai Tuhan itu tidak bertentangan dengan Pancasila, tetapi sebaliknya sangat selaras dengan pandangan agama. Pertanyaan kemudian, agama-agama itu memiliki perbedaan intrapetasi mengenai ketuhanan, itu tidak menjadi masalah bagi pancasila, karena hukum ideology adalah hukum yang menerapkan tindakan universal bukan parsial. Artinya, pancasila sebagai ideology sudah sangat tepat menempatkan posisi sila-silanya sesuai hukum tindakan praktis universal yang tidak terdikotomi ajaran parsial-parsial agama tertentu.  Jika kemudian pancasila sudah sangat utuh menerapkan model ideology yang semestinya, maka kesimpulan bahwa pancasila bertentangan dengan agama khususnya Islam maupun agama-agama lainnya itu sangat keliru.

Kemudian bagaimana dengan kerangka umum Pancasila sebagai sebuah ideology dalam pengertian-pengertian setiap sila-silanya ?

Hal yang demikian akan dibahas secara serius, karena tidak sedikit orang beranggapan bahwa Pancasila merupakan campuran dari pandangan individulisme pondasi kapitalisme dan pandangan koletiktifitas pondasi sosialisme. Hingga tidak sedikit kita temukan dalam pembahasan Pancasila banyak mengambil paradigma-paradigma berbeda untuk membedah setiap silanya, yang saling kontradiksi dengan sila-sila diatasnya. Bagi saya ini cara pandang yang keliru, bukan saja merancuhkan maksud dan makna sila pancasila tetapi telah meruntuhkan pancasila sebagai sebuah ideology. Sebagai contoh tidak sedikit orang yang menghubung-hubungkan sila kemanusiaan ada yang melekatkan pandangan humanisme sebagai dasar sila tersebut, yang kemudian akan dibahas dalam tulisan “ Mengaji Pancasila”.ke 2.

“Ideologi adalah penting, pancasila itu penting tak memahaminya menjadi orang tak penting”. Andi Muslimin


Thursday, 3 October 2019

Memahami Resonansi Pergerakan

Dalam hidup ini, manusia tidak dapat menghindari yang namanya politik. Memaknai kehidupan tentang apa dan bagaimananya untuk hidup itu merupakan persoalan politik, makanya tidak sedikit pemikir mangatakan bahwa sesungguhnya manusia itu adalah mahluk politik. Pusaran kehidupan berputar dalam diagram kesemestiannya, dan manusia bergerak, penggerak dan penjewantah kesemestian kehidupan itu. Dalam kajian-kajian fitrah, kita banyak menemukan kesimpulan bahwa manusia selalu mengarah kepada kefitrahannya, dan fitrah dirumuskan sebagai kehendak menuju pada kebaikan serta kesemestian itu, tabiatlah yang terkadang yang datang merusaknya. Disinilah peran politik, berfungsi untuk menciptakan ruang positif bagi kefitraan, dan menghambat laju tabiat dalam menguasai hidup manusia.

Walaupun sebenarnya kita terkadang tersesat dalam memahami alur narasi politik, mungkin karena bacaan yang ada menghimpit kita dalam satu paradigma tentu, tanpa membandingkan paradigma politik yang lain. Sehingga terkadang kita menyimpulkan bahwa politik itu pekerjaan yang jahat, tapi kenyataannya kita hidup dalam alam proyek politik, negara sebagai contoh sederhananya. Kalaupun kita sedikit sehat berfikir, terpaksa memilah dan mengamini pembagian politik dalam kategori teoritis dan praktis. Kemudian mengultimatum diri bahwa politik praktis itu yang buruk, padahal logika sebenarnyapun memperlihatkan bahwa keberlansungan hidup sebuah masyarakat tergantung dari kebijakan politik praktis tersebut, maka hasilnya pun orang baik menghindari politik praktis dan orang jahat yang beromantisme dengannya. Pemilahan politik ini menjadi teoritis dan praktis sebenarnya penyesatan dalam memahami politik, bahwa sesungguhnya politik itu dari asalnya memang sudah praktis, maka harusnya jangan dipraktiskan lagi.

Hampir semua kajian keilmuan mengatakan bahwa politik adalah gerak penjewantahan dari sebuah ideologi. Sehat ideologi seseorang, maka sehatlah cara berpolitiknya. Inilah problem mendasar kita selama ini, kita cenderung menyalahkan kegiatan politik itu kotor tanpa mengindetifikasi ideologinya, akhirnya dalam setiap pemilu sebagai jalur konstitusi masyarakat, kita tidak pernah memperhatikan factor ideologis seseorang dalam bilik suara, timbulah yang mesti tidak pernah bertemu dengan mesti. Lahir kesenjangan dalam dunia politik, karena kemestian ideologi tidak bertemu kemestiaan politiknya pada manusia sebagai penggeraknya, sehingga kebaikan tersisi, dan buruk yang menguasai.

Manusia tentu mudah memahami bahwa hidup itu adalah persimpangan antara baik dan jahat, baik mampu dipahami, sedangkan jahat juga kemudian mampu dipahami, karena kedua-duanya mampu dipahami. Saya meyakini, bangsa Indonesia adalah bangsa yang berdiri karena memiliki keyakinan untuk kebaikan, sehingga butuh tata kelola agar baik itu tak tercampur dengan yang jahat, atau sedikitnya jahat mampu ditekan dengan kebaikan. Untuk menekan kejahatan dengan kebaikan, maka disinilah dibutuhkan tata kelola, agar manusia secara kolektif mampu terhindar dari kejahatan yang sistemis, peran penting inilah yang seharusnya dijalankan oleh manusia dengan politik.

Rumusan umum menyatakan bahwa politik adalah tata kelola bersifat universal tentang sesuatu yang mestinya dilakukan, karena itulah kemudian politik tidak statis tetapi dinamis. Mengapa demikian ?, karena kehidupan itupula tidak statis tetapi terus bergerak menuju kemajuan dan pembaharuan. Kemudian siapa saja literature yang dinamis itu ?, jawabanya adalah setiap warga Negara baik dalam bentuk komunitas atau sebuah pergerakan, yang dinamakan sebagai media politik, dalam bahasa sistem sebagai input dalam melahirkan kebijakan politik. Maka pernyataan bahwa gerakan apapun namanya bukanlah gerakan politik itu juga adalah pernyataan yang sesat.

Olehnya itu, apapun model pergerakan itu merupakan media politik, untuk itu patut disadari oleh media-media politik adalah memahami konstalasi politik di Negara itu, kapanpun, dan pada bangsa manapun, karena sesungguhnya konstalasi politik setiap negara sangat dipengaruhi oleh resonansi dinamika (geo) politik global. Sederhananya, bahwa masyarakat akan diperhadapkan oleh dua kepentingan, yakni kepentingan Nasional dan kepentingan Global. Kepentingan nasional berkenaan seluruh aspek yang ada pada negera tertentu, dan kepentingan global kepentingan yang ada diluar Negara tersebut. Maka asumsi bahwa konflik nasional terjadi memiliki ikatan keterhubungan dengan konflik global, asumsi ini bukanlah faktor kebetulan, tetapi disebut ketersambungan kepentingan.

Atas dasar itu kemudian setiap pergerakan, hal pertama dikaji adalah memahami alur cerita, agar tidak menimbulkan gesekan dengan kepentingan nasional, caranya memahami isu konstalasi global, sehingga gerakan apapun itu termaksud gerakan mahasiswa tidak menjadi perantara atau pemulus dari kepentingan konflik global pada satu Negara tertentu. Misalnya, radikalisme adalah program konflik atau issu global tertentu yang menyusup masuk untuk merusak tatanan sebuah bangsa dengan pola berfikir dan tindakannya, yang kemudian Negara melihatnya ini sebagai sebuah aktifitas yang berbahaya, sehingga pemerintah dalam hal ini memasukkannya sebagai program kepentingan nasional yang harus dilawan. Maka komunitas pergerakan yang betul-betul berjuang untuk kepentingan umum, tentu kemudian harus paham dan menempatkan dirinya sebagai pejuang kepentingan nasional, bukan sebagai pemulus kepentingan global, atau dengan bahasa lain adalah ikut gegap gempita memberikan sumbangsi terhadap kelompok perusak tersebut.

Memahami resonansi kepentingan adalah epicentrum awal bagi sebuah pergerakan, agar kelompok pergerakan tidak menjadi media penyubur dari program kepentingan asing yang mungkin saja bertujuan merusak kedaulatan sebuah Negara. Resonansi yang artinya, bergetarnya suatu benda akibat (pengaruh) getar dari benda lain. Semacam efek getaran atau getar yang sambung-menyambung karena terhubung dalam dan/atau satu frekwensi. Itu definisi ringkas dari resonansi.
Dengan demikian, tatkala mengamati dan mencermati perkembangan politik nasional, kelompok pergerakan harus lebih tahu resonansi, minimal harus mengetahui dan memahami terlebih dahulu seluk beluk apakah ada ego politik global yang sering hadir sebagai pelaku epicentrum getaran. Entah dengan membaca perkembangan isu aktual di level global, atau mengenali dahulu tema maupun agenda yang tengah diusung para adidaya, yang kemudian disalurkan melalui lembaga-lembaga tertentu yang ada di Indonesia sebagai perantara mereka. Ini penting untuk dipahami oleh setiap kelompok, dengan memahami skema yang terjadi di dunia, komunitas pergerakan dapat memilah melakukan apa dengan cara apa. Tanpa memahami, bisa saja cara yang kita lakukan adalah harapan atau cita-cita yang ingin mereka lakukan, yang belum terlaksana.

Memahami pola resonansi agar dunia pergerakan juga tidak kabur dalam memahami persoalan dan kemungkinan kehilangan kepercayaan oleh masyarakat, bahwa betul penumpang gelap dalam dunia gerakan selalu ada, hanya yang perlu ditakutkan bahwa penumpang gelap tersebut adalah resonansi ego global yang bertujuan merusak kedamaian serta menghembuskan ketakutan di tengah masyarakat. Serta pelaku-pelaku gerakan tidak terombang-ambing dalam lautan hoax, tertipu oleh false flag operation dan lain sebagainya.

“Ideology tak sesuai dengan manusia, hanya akan memberikan ketakutan dan kesengsaraan bagi manusia”. Andi Muslimin


Wednesday, 2 October 2019

Mengaji Demokrasi


Demokrasi adalah kata atau konsep yang tak pernah usang diperbincangkan, walaupun umurnya tak setua manusia yang saat ini yang banyak membicarakannya. Kata inipula sering dipakai oleh negara kuat menjajah atau mengakspansi negara lemah, ketika kepentingannya tidak diamini. Pengalaman sejarah banyak membuktikan kebanyakan negara di Timur Tengah dan banyak negara dari benua lainnya hancur lebur karena negara-negara kapitilastik menjatuhkan bom, mengkudeta penguasanya, berangkat dengan alasan bahwa negara beserta penguasanya sangat tidak demokratis, telah melanggar hak asasi manusia. Walaupun sebenarnya alasan itu pun juga sangat tidak demokratis dan melanggar hak asasi manusia itu sendiri. Lalu bagaimana dengan Indonesia ?

Potret demokrasi di Indonesia tentu hampir tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi dibelahan dunia manapun, walaupun terkadang narasi demokrasi yang banyak dikampanyekan tak memiliki jenis kelamin yang tetap, semua tergantung siapa yang meneriakkan apa dan kepentingannya apa. Narasi tak berjenis kelamin tetap nan rancuh ini berhamburan menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, ada yang anti dengan demokrasi, tetapi menggunakan sarana demokrasi. Berorasi bahwa manusia mempunyai hak kebebasan, tapi disisi lain melanggar kebebasan itu sendiri. Meneriakkan kebebasan berpendapat, tetapi melarang, menyalahkan dan menyesatkan pendapat orang lain.  

Belum lagi yang tak memiliki sikap pasti dalam berpaham demokrasi, di satu sisi menolak Otoritarian, tetapi menggunakan cara-cara Otoritarian. Adapula  pihak lain melarang menggunakan cara-cara Liberalistik, tetapi menggunakan cara-cara Liberal. Ada juga yang berjenis ambigu dalam berpaham demokrasi, mengartikannya sebagai hak kebebasan yang dimiliki oleh setiap individu-individu, yang tak boleh dibatasi, tetapi aktif membatasi kebebasan individu yang lain, ketika dicegah membatasi, lalu menggugat dengan bahasa membatasi kebebasannnya. Teriak bahwa rakyat bebas mengawasi Negara dan lembaga negaranya, tetapi melarang negara mengawasi rakyatnya. Adapula lembaga Negara takut diawasi, tetapi sangat bernafsu dan ingin bebas mengawasi individu-individu sebagai warga Negara. Disinilah terkadang membuat negera ini berada dalam kubangan kelam masa depannya, dimana individunya sendiri yang menjadi penyakit dalam hidup berdemokrasi. Negara harus turut hadir, Negara hadir dicap sebagai pelanggar hak kebebasan, Negara tak hadir dianggap sebagai penghianatan kedaulatan rakyat. Memang membingungkan hidup dengan narasi demokrasi tak berjenis kelamin ini.

Penyakit inipun semakin menggerogoti nalar kebangsaan, ketika praktisi, akademisi dan penggiat demokrasi hadir bukan sebagai obat penyehat pemahaman demokrasi, tetapi semakin menambah luka dan virus kekaburan dalam memahami demokrasi dengan segala tindakan menolak demokrasi ala Liberalistik, tapi menyuntikkan gagasan demokrasi dengan warna liberalistik pula.  Dilain pihak menolak demokrasi Otoritarian, tapi gagasannya dan perilakunya sangat Otoritarian dengan memaksakan kehendaknya. Sebenarnya mereka ini siapa ?

Kita tentu sepakat bahwa titik fokus sebuah sistem demokrasi ada pada individu manusianya. Semakin cerdas menusianya, maka semakin sehat cara berdemokrasinya, semakin bodoh manusianya maka semakin rusak pula cara berdemokrasinya. Negara demokrasi adalah Negara yang memiliki individu-individu yang cerdas, karena baginya negara adalah bukan sebuah paksaan, tetapi alamiah pada dirinya, sehingga dasar itulah kemudian manusia disebut sebagai mahluk politik. Seperti kata Aristoteles, adanya negara adalah sesuatu yang alamiah, karena manusia, pada hakekatnya, adalah mahluk politis. Dengan kata lain, karena manusia, secara alamiah, adalah mahluk politis, maka negara, sebagai komunitas politis, pun juga adalah sesuatu yang ada secara alamiah. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang tak punya negara, atau yang tak tergabung dengan komunitas politis tersebut? Aristoteles secara jelas membedakan antara orang-orang yang tak memiliki negara secara sengaja di satu sisi, dan orang-orang yang terpaksa tidak memiliki negara. Orang-orang yang memilih untuk tak bernegara, bagi Aristoteles, adalah orang-orang yang jahat, yang sekaligus tidak mengenal hukum, pecinta perang dan kekacauan, serta kejam. Dengan inilah kemudian dapat disimpulkan bahwa individu sadar bahwa kebebasan, dan negara ini adalah bagian dari dirinya, maka perlu menetapkan hukum, tata cara dan sistem termaksud sistem demokrasi yang berfungsi mengatur jalannya sebuah negara secara baik dan bijaksana.

Pertanyaan kemudian, bagaimana sistem demokrasi yang sesungguhnya itu dipahami, agar kita tidak salah dan ambigu dalam memahaminya, serta tidak bertentangan dengan sifat alamiah individu sebagai warga negara yang ingin menerapkan sistem demokrasi tersebut. Karena salah memahami demokrasi tentu dapat merusak tata kelola Negara sesuai keinginaan alamiah seseorang bernegara. Untuk membatasi diri agar tidak terlalu luas dan bias memahami demokrasi, yang utama terlebih dulu kita lakukan adalah melakukan pendefinisian demokrasi agar tidak keluar dari esensinya itu sendiri. Dalam proses pendefinisian ada dua bentuk model definisi. Pertama, definisi verbal, dimana pendefinisiannya dalam pusaran kerangka istilah kata itu sendiri, dan menurut pendapat para ahli.

Kedua, definisi nyata atau subtansi kata tersebut, dimana definisi ini lebih menitikkan pada pengkajian makna sesungguhnya dengan tetap terikat pada istilah kata dalam menangkap makna dari kata demokrasi tersebut. Sejarah demokrasi  diawali oleh pidato Pericles di depan masyarakat Athena pada masa Yunani klasik sebelum masehi. Dalam perkembangannya selama beribu tahun terdapat paling kurang 550  definisi demokrasi yang ditemukan berdasarkan kajian pustaka yang dilakukan Collier dan Levitsky (1997). Pengertian dan pemahaman demokrasi yang menjadi sangat luas dan beragam ini menandakan bahwa model demokrasi tidaklah bersifat universal, tetapi berbeda-beda sesuai kebutuhan Negara penganut. 

Dalam kacamata subtansi makna demokrasi berarti Negara diatur berdasarkan kepentingan rakyat seluas-luasnya, yang kemudian terangkum bahwa demokrasi adalah sistem yang berbicara tentang kedaulatan bangsa berada ditangan rakyat. Artinya Negara itu dikatakan berdaulat, ketika rakyat sangat berdaulat ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, salah bentuk kedaulatan rakyat itu adanya kebebasan sebagai hak bagi rakyat.

Hanya kita tidak boleh berhenti pada tahapan kedaulatan rakyat sebagai finalisasi pengertian demokrasi, karena pengertian dalam arti pemeritahan oleh rakyat atau kedaulatan rakyat masih membingungkan, dan ketika berdiri sendiri dapat dipandangan sebagai konsep yang masih ambigu. Olehnya itu, fakta sejarah menyatakan bahwa demokrasi pertama kali dibicarakan dalam sebuah komunitas masyarakat di Yunani atau lebih khususnya di Athena, yang kemudian prinsip kedaulatan rakyat itu sangat bercirikan dengan modal hukum, budaya dan tradisi masyarakat Athena atau Yunani pada waktu itu. Dalam artian bahwa sistem demokrasinya tunduk pada kebiasaan masyarakat Yunani dengan beserta perangkat hak-hak kebebasannya yang dipahaminya. Artinya demokrasi pada masa kemunculannya itu sangat terikat dengan hukum budaya,dan tradisi sebagai bentuk kedaulatan rakyatnya. Begitupun seharusnya negara lain, demokrasinya terikat dengan hukum, budaya dan tradisi negara penganutnya. Hukum, budaya, dan tradisi inilah sebagai sifat dari sebuah demokrasi, yang kemudian terangkum dalam bentuk yang kita kenal dengan sebutan ideologi.

Bagaimana bentuk, model dan sifat demokrasi sebuah Negara, dapat dilihat ideologi apa yang dianut Negara tersebut.  Itulah kemudian, kita tidak boleh serta merta serampangan teriak tentang demokrasi, apalagi melepaskan hal yang wajib melekat terhadap sistem demorkasi tersebut. Atas dasar itu pula kemudian, dalam mengkaji pengertian demokrasi khususnya dalam model definisi nyata kita melepaskan pengertian pandangan menurut para ahli, tujuannya untuk menghindari dogma pengertian dari latarbalakang kepentingan si pendapat, yang dimaksud latar belakang kepentingan adalah faktor ideologi para ahli yang mendefinisikan demokrasi. Karena sebuah keniscayaan bahwa kesimpulan seseorang tentang demokrasi pasti lahir dari ideologi yang melekat padanya. Bagi orang yang memiliki ideologi Individualisme akan berpendapat sesuai hukum, budaya dan tradisi Liberalistik, sedangkan bagi yang berpandangan Otoritarian pasti aka berpendapat sesuai dengan hukum, budaya dan tradisi Otoritarian.

“Perlu memahami secara nyata (subtansi) sesuatu, agar tak menjadi korban kegelian pemahaman”. Andi Muslimin


Monday, 30 September 2019

Gersangnya Nalar Intelektual Muda


Rusuh itulah riuh narasi kehidupan yang terjadi beberapa hari belakang ini, di negeri dikenal dengan ideologi Pancasilanya. Elemen- elemen intelektual muda (katanya) turun memenuhi panggung demontrasi dengan teriakan-teriakan kekecewaan, mungkin juga sinis maupun bernada ancaman. Dalam dunia demokratis itu telah menjadi biasa, sedikitnya pernyataan ini banyak diamini kebanyakan orang. 

Gerakan aksi massa elemen intelektual muda, walaupun tidak sedikit yang tua-tua ikut nimbrung teriak karena mungkin gagal move on dalam kontestasi politik, menjadi gelombang riuh sebagai sombol dalam ruang-ruang kritis, yang dianggap  pelanjut estafet para pendahulu yang berhasil menumbang rezim otoritatarian yang berpernah berlaku di bangsa ini.

Tentu tindakan aksi massa bukan sebuah hal yang tabu untuk dilakukan, yang memang seharusnya elemen intelektual muda tidak boleh tinggal diam, tetapi tetap kritis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan maksud agar tetap berada poros cita-cita dan tujuan berdirinya Negara republik Indonesia. Tetapi bagaimana kiranya ketika sikap kritis yang terpatri dalam diri intelektual muda bangsa ini, berbanding lurus dengan krisis intelektual yang merasukinya.

Pelabelan elemen intelektual muda harus tetap bersikap kritis, seharusnya bermakna sama bahwa kritis karena tahu. Tapi apa jadinya kritis tapi bermakna tidak tahu, tentu yang hadir adalah masalah menggerogiti tatanaan persatuan dan ketertiban umum bangsa ini dengan luapan gerakan massa turun ke jalan bukan membawa solusi masalah, tetapi lebih condong membawa amarah angkara murka. Mungkin amarah untuk melawan kedzaliman adalah penting, tapi sebaliknya amarah yang tidak punya landasan kemarahan dan cenderung di awali oleh ketidaktahuan inilah yang menjadi masalah.

Narasi yang tergaungkan dari serpihan-serpihan perjuangan intelektual muda yang nampak di negeri ini, tidak lain hanya sebuah kebisingan serta kegersangan intelektual melekat di pojok otak mereka, sehingga menghasilkan gerakan-gerakan buta dan nihil memahami masalah, sehingga nampak bahwa mereka hanyalah mahluk-mahluk dengan elemen ngotot berjuang mengatasnamakan rakyat, tapi tersandera label kebenaran gersang akan nilai.

Apakah ini berbahaya ?

Tidak hanya berbahaya, tapi juga menakutkan bagaikan monster penghisap darah kebenaran. Dapat dilihat ketika kemudian ada seseorang atau kelompok lain melakukan kritikan terhadap perangai tersebut, maka cap dan tuduhan partisan, tak punya hati dan bersekongkol dengan pemerintah maupun politisi akan bersetubuh dengan kebenaran sepihaknya. Padahal kita tahu, logika sehat mengatakan bahwa pembelaan seseorang bukan saja karena didasari oleh keberpihakannya pada pemerintah atau politisi tetapi karena subtansi konten yang diperjuangkan oleh intelektual muda yang dianggap jauh apa yang seharusnya diperjuangkan.

Belum lagi sekiranya apa yang diperjuangkan telah sampai pada titik kesepakatan, tentu gerakan itu harus berhenti dengan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak layak dilakukan seperti merusak fasilitas umum dan lain sebagainya. Tetapi bayangan ideal itu ternyata harus tergadai dari luapan-luapan bising nan merusak, padahal yang seharusnya telah final dan kemenangan berada dipihak mereka. Tapi terus bergerak yang tidak lain hanya dipandang sebagai perebutan lahan citra tentang kisah-kisah kehebatan, walau dengan gaya dan narasi paroligisme yang menggelikan.

Pagelaran citra yang mungkin bagi saya lebih tepat untuk menilai semuanya ini, tidak lebih jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kebanyakan politisi, atau bisa saja adalah bagian untuk semakin memuluskan kepentingan politisi tertentu yang memang tidak menginginkan bangsa ini jalan sesuai cara-cara kehidupan yang harmonis, walaupun itu tidak terkoneksi secara langsung.

Kita sebenarnya menunggu semangat intelektual muda yang betul-betul berjuang demi mengurusi tentang hak dasar orang banyak, melalui pendekatan pengkajian yang mendalam tentang kebutuhan dasar tersebut. Bukan terjebak serpihan-serpihan aksidental masalah yang hanya fenomena tapi bukan kebutuhan nomena rakyat. Kita pula sangat berharap intelektual muda tidak terjebak dalam kubangan pemikiran sempit, bahwa tahu bukan prasyarat penting sebuah gerakan dan perjuangannya. Jika kemudian seperti itu landasannya, maka dipastikan bahwa semua ini hanya pagelaran citra yang terjangkiti nalar nable selves. Sebuah penyakit dalam kajian tipe komunikator dalam kajian llmu komunikasi, yang memiliki pengertian bahwa orang atau individu yang hanya menganggap dirinya memiliki personal ideal, superior dan sulit menerima kritik hanya mau mengkritik.

Jika mental dan nalar nable selves ketika telah terpatri dalam pikiran elemen muda, maka akan menganggap bahwa kritik yang dilakukannya adalah kebenaran, dan yang bertentangan dengan kritikannya dianggap sebagai persengkongkolan pada yang jahat. Bahayanya mereka juga menganggap bahwa merusak, kegaduhan penting untuk dilakukan karena itu bagian dari kebenaran itu sendiri. Tentu kita sepakat bahwa kritik adalah modul yang berisikan masalah-masalah, yang kemudian berujung pada perbaikan, tetapi apa jadinya ketika modul yang berseliweran adalah hujatan yang didasari oleh ketidaktahuan masalah. Maka yang ada hanya tontonan lucu lagi menakutkan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, dan semoga saja ini bukan karena nyaman dengan hal itu, nyaman demi segompok duit, nyaman demi citra, nyaman demi publisitas, dan nyaman demi populer.


“ Kalau hanya sekadar citra dalam bayangan realitasmu, tentu kita tak dapat mengalahkan indahnya beo dengan buluh dan pandai meniru bunyi”. Andi Muslimin



Monday, 3 September 2018

Demokrasi Tersandera Tahun Politik


Alangkah beratnya beban yang ditanggung oleh bangsa ini, terlepas dari jeratan orde baru menuju alam demokrasi, belum mampu memberikan angin segar bagi kemajuan dan kedewasaan dalam berpolitik. Namun, semakin jauh dari skema besar yang telah ditancapkan oleh para pendahulu bangsa ini dengan terkotak-kotaknya masyarakat dari narasi demokrasi yang digaungkan elit politik yang minim prestasi dan nihil sinitasi diri. Mungkin kita perlu membaca lagi, lalu merenungkan secara mendalam dengan hati bersih, bagaimana gagasan besar yang diinginkan oleh pendiri bangsa, agar proses dan praktek demokrasi tidak keluar dari panggung sejarah dan asupan demokrasi yang sesungguhnya dari gegap gempitanya panggung politik.

Demokrasi dengan simbol kebebasan perpendapat dan berekspresi seharusnya berisi gagasan-gagasan kaya makna, telah dimaknai miskin makna dengan bebas tanpa batas mengutarakan apa saja dibenak masing-masing walau mengandung sentimen tribalistik. Atasnama kebebasan berpendapat ini pula dijadikan tameng perlindungan dari gegap gempitanya mengumbar narasi-narasi kebencian antar sesama di ruang-ruang publik. Tahun politik adalah zona paling nyaman untuk melakukan semua ini, karena dianggap tempat paling tepat dan efesien untuk meraup perhatian publik. Salah satu yang sangat fenomenal dan masih hangat dibenak kita adalah propaganda ganti presiden yang berbalut kebencian digaungkan oleh elit PKS, cenderung dianggap biasa karena masih dianggap prosedural dalam berdemokrasi.

Dalam realitas prosedural itu pula, inkonsistensi narasi berdemokrasi telah dilanggar dengan berbagai kekerasan psikis sampai fisik, dari persekusi hingga memenjarakan seseorang karena hanya mengkritik volume suara toa dianggap sebagai penodaan agama, sedangkan kelompok-kelompok yang bebas memprogandakan kebencian dianggap sah sebagai bentuk ekspresi di alam demokrasi. Adegium berdemokrasi yang menggelikan, dimana hak bebas berpendapat, hanya menjadi milik kelompok dan kondisi tertentu saja.

Inilah iklim demokrasi yang berlangsung di tengah kita saat ini, sangat jauh dari subtansi demokrasi yang menjadi harapan untuk melindungi segenap warga negara, apapun golongannya hanya sebatas kerinduan. Demokrasi subtantif hanya akan menjadi mimpi, ketika elit politik masih tidak bisa memastikan bahwa dalam tahun politik terbebas kepentingan biopolitik (politik identitas) yang berbalut perpecahan oleh para calon calon anggota legislatif, serta calon presiden dan wakil presiden.

Permainan olah kata dan simbol interaction propaganda, untuk menyampaikan dan mempengaruhi nalar masyarakat, tentu saja tidak menjadi masalah. Jika dilakukan tidak berisi ujaran kebencian serta membawa isu SARA. Ukuran bahwa elit politik serius dalam menciptakan demokrasi yang sehat, ketika elit politik telah mampu menghadirkan kebijakan yang imparsial yaitu menjunjung tinggi kesetaraan, keberagaman,berkeadilan, berkerakyatan, dan memiliki perhatian khusus terhadap rakyat yang kurang beruntung.

Sudah saatnya elit dan partai politik menampilkan narasi yang rasional dan egaliter, dengan tidak mencederai proses demokrasi dengan sentimen-sentimen kebencian yang justru menjadi kontraproduktif dalam mewujudkan demokrasi yang sehat. Sudah saatnya pula elit dan parpol melepas tali penyaderaan terhadap demokrasi, agar praktik demokrasi semakin dekat dari subtansi yang sesungguhnya, dengan melaksanakan titah UU Parpol, khususnya pendidikan politik terhadap masyarakat maupun kadernya. Menjamurnya perilaku kebencian, berita hoax (palsu) hingga menghalalkan politik uang adalah bukti bawa parpol gagal melaksanakan UU Parpol.

Catatan hitam kegagalan parpol dalam melaksanakan UU Parpol dapat dilihat dalam kasus Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pilgub Jabar tahun 2018, dimana isu kebencian berkembang biak yang memiliki modus operandi yang relatif sama. Jika  modus Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pilgub Jabar tahun 2018 terulang kembali di tahun 2019,  maka semakin menambah langkah mundur dalam demokrasi kita dan merupakan preseden yang amat sangat buruk bagi tumbuh kembang demokrasi di masa depan.

Friday, 24 August 2018

Meiliana & Tertindasnya Kaum Minoritas

Gambar mungkin berisi: 4 orang, dekat

Kasus yang melanda ibu Meiliana telah menggambarkan kepada kita dari sekian banyak gambaran yang ada, bahwa eskalasi kebencian akan terus semakin tinggi, jika kita terus membiarkan ormas atau kelompok tertentu berkembang biak dengan segala caranya dalam menanggapi berbagai persoalan, yang berlindung dan bertopeng dibalik payung hukum penistaan agama, tetapi doyan merusak ketertiban dan kerukunan.
Hukum universal agama yang selayaknya memperjuangkan kemanusiaan dan welas asih telah dilindas oleh kaum-kaum yang onar membuat keribuatan dengan simbol agama. Minoritaspun harus tunduk dan takut terhadap mayoritas yang menghalalkan segala cara untuk menindas dan merusak kelompok-kelompok tertentu yang tak punya kekuatan untuk melindungi diri.
Pluralisme dan toleransi pun hanya sekedar konsep dan konteks dasar yang melindungi kaum mayoritas, dengan berbagai desakan dan kebijakan melalui presentasi sepihaknya. Curhat yang sekedar berbentuk pertanyaan tentang volume pengeras suara adzan pun telah dianggap sebagai sebuah penistaan agama, dan menjadi sebuah alasan untuk melakukan pengrusakan terhadap rumah Ibadah. Dimanakah letak manusiawi dan rasa penyayangnya kita ?
Jangan sampai ini terus mengakar dan mengobrak-abrik kerukunan, dan ruang-ruang dialog dalam membuktikan kebenaran agama pun nantinya akan dijadikan sebagai sebuah bentuk penistaan agama. Jika cara-cara sperti ini terus dibiarkan menjamur, hanya akan menjadi topeng orang-orang tertentu dalam mengelabui umat manusia. Kasus ini sekaligus menguji kita yang mayoritas untuk bisa konsisten dengan segala semboyan toleransi dan penuh rahmat yang dapat menerima perbedaan yang selama ini kita gaungkan.

#AlumniSKK1
#SalamPancasila
#Identitas adalah tanda pengenal