Demokrasi adalah kata atau konsep yang tak pernah usang
diperbincangkan, walaupun umurnya tak setua manusia yang saat ini yang banyak membicarakannya.
Kata inipula sering dipakai oleh negara kuat menjajah atau mengakspansi negara lemah,
ketika kepentingannya tidak diamini. Pengalaman sejarah banyak membuktikan kebanyakan
negara di Timur Tengah dan banyak negara dari benua lainnya hancur lebur karena negara-negara kapitilastik
menjatuhkan bom, mengkudeta penguasanya, berangkat dengan alasan bahwa negara
beserta penguasanya sangat tidak demokratis, telah melanggar hak asasi manusia.
Walaupun sebenarnya alasan itu pun juga sangat tidak demokratis dan melanggar
hak asasi manusia itu sendiri. Lalu bagaimana dengan Indonesia ?
Potret demokrasi di Indonesia tentu hampir tidak jauh
berbeda dengan apa yang terjadi dibelahan dunia manapun, walaupun terkadang
narasi demokrasi yang banyak dikampanyekan tak memiliki jenis kelamin yang
tetap, semua tergantung siapa yang meneriakkan apa dan kepentingannya apa. Narasi
tak berjenis kelamin tetap nan rancuh ini berhamburan menghiasi kehidupan
berbangsa dan bernegara kita, ada yang anti dengan demokrasi, tetapi menggunakan
sarana demokrasi. Berorasi bahwa manusia mempunyai hak kebebasan, tapi disisi
lain melanggar kebebasan itu sendiri. Meneriakkan kebebasan berpendapat, tetapi
melarang, menyalahkan dan menyesatkan pendapat orang lain.
Belum lagi yang tak memiliki sikap pasti dalam
berpaham demokrasi, di satu sisi menolak Otoritarian,
tetapi menggunakan cara-cara Otoritarian.
Adapula pihak lain melarang menggunakan
cara-cara Liberalistik, tetapi
menggunakan cara-cara Liberal. Ada juga
yang berjenis ambigu dalam berpaham demokrasi,
mengartikannya sebagai hak kebebasan yang dimiliki oleh setiap
individu-individu, yang tak boleh dibatasi, tetapi aktif membatasi kebebasan
individu yang lain, ketika dicegah membatasi, lalu menggugat dengan bahasa membatasi
kebebasannnya. Teriak bahwa rakyat bebas mengawasi Negara dan lembaga negaranya,
tetapi melarang negara mengawasi rakyatnya. Adapula lembaga Negara takut
diawasi, tetapi sangat bernafsu dan ingin bebas mengawasi individu-individu
sebagai warga Negara. Disinilah terkadang membuat negera ini berada dalam
kubangan kelam masa depannya, dimana individunya sendiri yang menjadi penyakit
dalam hidup berdemokrasi. Negara harus turut hadir, Negara hadir dicap sebagai
pelanggar hak kebebasan, Negara tak hadir dianggap sebagai penghianatan
kedaulatan rakyat. Memang membingungkan hidup dengan narasi demokrasi tak
berjenis kelamin ini.
Penyakit inipun semakin menggerogoti nalar kebangsaan,
ketika praktisi, akademisi dan penggiat demokrasi hadir bukan sebagai obat
penyehat pemahaman demokrasi, tetapi semakin menambah luka dan virus kekaburan
dalam memahami demokrasi dengan segala tindakan menolak demokrasi ala Liberalistik, tapi menyuntikkan gagasan
demokrasi dengan warna liberalistik pula.
Dilain pihak menolak demokrasi Otoritarian,
tapi gagasannya dan perilakunya sangat Otoritarian
dengan memaksakan kehendaknya. Sebenarnya mereka ini siapa ?
Kita tentu sepakat bahwa titik fokus sebuah sistem
demokrasi ada pada individu manusianya. Semakin cerdas menusianya, maka semakin
sehat cara berdemokrasinya, semakin bodoh manusianya maka semakin rusak pula
cara berdemokrasinya. Negara demokrasi adalah Negara yang memiliki individu-individu
yang cerdas, karena baginya negara adalah bukan sebuah paksaan, tetapi alamiah
pada dirinya, sehingga dasar itulah kemudian manusia disebut sebagai mahluk
politik. Seperti kata Aristoteles, adanya negara adalah sesuatu yang
alamiah, karena manusia, pada hakekatnya, adalah mahluk politis. Dengan kata
lain, karena manusia, secara alamiah, adalah mahluk politis, maka negara,
sebagai komunitas politis, pun juga adalah sesuatu yang ada secara alamiah. Lalu,
bagaimana dengan orang-orang yang tak punya negara, atau yang tak tergabung
dengan komunitas politis tersebut? Aristoteles secara jelas membedakan antara
orang-orang yang tak memiliki negara secara sengaja di satu sisi, dan
orang-orang yang terpaksa tidak memiliki negara. Orang-orang yang memilih untuk
tak bernegara, bagi Aristoteles, adalah orang-orang yang jahat, yang sekaligus
tidak mengenal hukum, pecinta perang dan kekacauan, serta kejam. Dengan inilah kemudian dapat
disimpulkan bahwa individu sadar bahwa kebebasan, dan negara ini adalah bagian
dari dirinya, maka perlu menetapkan hukum, tata cara dan sistem termaksud
sistem demokrasi yang berfungsi mengatur jalannya sebuah negara secara baik dan
bijaksana.
Pertanyaan kemudian, bagaimana sistem demokrasi yang
sesungguhnya itu dipahami, agar kita tidak salah dan ambigu dalam memahaminya, serta
tidak bertentangan dengan sifat alamiah individu sebagai warga negara yang
ingin menerapkan sistem demokrasi tersebut. Karena salah memahami demokrasi
tentu dapat merusak tata kelola Negara sesuai keinginaan alamiah seseorang
bernegara. Untuk membatasi diri agar tidak terlalu luas dan bias memahami
demokrasi, yang utama terlebih dulu kita lakukan adalah melakukan pendefinisian demokrasi agar
tidak keluar dari esensinya itu sendiri. Dalam proses pendefinisian ada dua
bentuk model definisi. Pertama, definisi verbal, dimana pendefinisiannya dalam pusaran
kerangka istilah kata itu sendiri, dan menurut pendapat para ahli.
Kedua, definisi nyata atau subtansi kata tersebut,
dimana definisi ini lebih menitikkan pada pengkajian makna sesungguhnya dengan tetap
terikat pada istilah kata dalam menangkap makna dari kata demokrasi tersebut. Sejarah
demokrasi diawali oleh pidato Pericles
di depan masyarakat Athena pada masa Yunani klasik sebelum masehi. Dalam perkembangannya
selama beribu tahun terdapat paling kurang 550
definisi demokrasi yang ditemukan berdasarkan kajian pustaka yang
dilakukan Collier dan Levitsky (1997). Pengertian dan pemahaman demokrasi yang
menjadi sangat luas dan beragam ini menandakan bahwa model demokrasi tidaklah
bersifat universal, tetapi berbeda-beda sesuai kebutuhan Negara penganut.
Dalam kacamata subtansi makna demokrasi berarti Negara
diatur berdasarkan kepentingan rakyat seluas-luasnya, yang kemudian terangkum
bahwa demokrasi adalah sistem yang berbicara tentang kedaulatan bangsa berada
ditangan rakyat. Artinya Negara itu dikatakan berdaulat, ketika rakyat sangat
berdaulat ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, salah bentuk
kedaulatan rakyat itu adanya kebebasan sebagai hak bagi rakyat.
Hanya kita tidak boleh berhenti pada tahapan
kedaulatan rakyat sebagai finalisasi pengertian demokrasi, karena pengertian
dalam arti pemeritahan oleh rakyat atau kedaulatan rakyat masih membingungkan,
dan ketika berdiri sendiri dapat dipandangan sebagai konsep yang masih ambigu. Olehnya
itu, fakta sejarah menyatakan bahwa demokrasi pertama kali dibicarakan dalam
sebuah komunitas masyarakat di Yunani atau lebih khususnya di Athena, yang kemudian
prinsip kedaulatan rakyat itu sangat bercirikan dengan modal hukum, budaya dan
tradisi masyarakat Athena atau Yunani pada waktu itu. Dalam artian bahwa sistem
demokrasinya tunduk pada kebiasaan masyarakat Yunani dengan beserta perangkat hak-hak
kebebasannya yang dipahaminya. Artinya demokrasi pada masa kemunculannya itu sangat terikat dengan hukum budaya,dan tradisi sebagai bentuk kedaulatan rakyatnya. Begitupun seharusnya negara lain, demokrasinya terikat dengan hukum, budaya dan tradisi negara penganutnya. Hukum, budaya, dan tradisi inilah sebagai sifat dari sebuah demokrasi, yang kemudian terangkum dalam bentuk yang kita
kenal dengan sebutan ideologi.
Bagaimana bentuk, model dan sifat demokrasi sebuah Negara,
dapat dilihat ideologi apa yang dianut Negara tersebut. Itulah kemudian, kita tidak boleh serta merta serampangan
teriak tentang demokrasi, apalagi melepaskan hal yang wajib melekat terhadap
sistem demorkasi tersebut. Atas dasar itu pula kemudian, dalam mengkaji
pengertian demokrasi khususnya dalam model definisi nyata kita melepaskan
pengertian pandangan menurut para ahli, tujuannya untuk menghindari dogma
pengertian dari latarbalakang kepentingan si pendapat, yang dimaksud latar
belakang kepentingan adalah faktor ideologi para ahli yang mendefinisikan demokrasi.
Karena sebuah keniscayaan bahwa kesimpulan seseorang tentang demokrasi pasti
lahir dari ideologi yang melekat padanya. Bagi orang yang memiliki ideologi Individualisme akan berpendapat sesuai
hukum, budaya dan tradisi Liberalistik,
sedangkan bagi yang berpandangan Otoritarian
pasti aka berpendapat sesuai dengan hukum, budaya dan tradisi Otoritarian.
“Perlu memahami secara nyata
(subtansi) sesuatu, agar tak menjadi korban kegelian pemahaman”. Andi Muslimin
0 Komentar Anda:
Post a Comment