Pages

Wednesday, 2 October 2019

Mengaji Demokrasi


Demokrasi adalah kata atau konsep yang tak pernah usang diperbincangkan, walaupun umurnya tak setua manusia yang saat ini yang banyak membicarakannya. Kata inipula sering dipakai oleh negara kuat menjajah atau mengakspansi negara lemah, ketika kepentingannya tidak diamini. Pengalaman sejarah banyak membuktikan kebanyakan negara di Timur Tengah dan banyak negara dari benua lainnya hancur lebur karena negara-negara kapitilastik menjatuhkan bom, mengkudeta penguasanya, berangkat dengan alasan bahwa negara beserta penguasanya sangat tidak demokratis, telah melanggar hak asasi manusia. Walaupun sebenarnya alasan itu pun juga sangat tidak demokratis dan melanggar hak asasi manusia itu sendiri. Lalu bagaimana dengan Indonesia ?

Potret demokrasi di Indonesia tentu hampir tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi dibelahan dunia manapun, walaupun terkadang narasi demokrasi yang banyak dikampanyekan tak memiliki jenis kelamin yang tetap, semua tergantung siapa yang meneriakkan apa dan kepentingannya apa. Narasi tak berjenis kelamin tetap nan rancuh ini berhamburan menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, ada yang anti dengan demokrasi, tetapi menggunakan sarana demokrasi. Berorasi bahwa manusia mempunyai hak kebebasan, tapi disisi lain melanggar kebebasan itu sendiri. Meneriakkan kebebasan berpendapat, tetapi melarang, menyalahkan dan menyesatkan pendapat orang lain.  

Belum lagi yang tak memiliki sikap pasti dalam berpaham demokrasi, di satu sisi menolak Otoritarian, tetapi menggunakan cara-cara Otoritarian. Adapula  pihak lain melarang menggunakan cara-cara Liberalistik, tetapi menggunakan cara-cara Liberal. Ada juga yang berjenis ambigu dalam berpaham demokrasi, mengartikannya sebagai hak kebebasan yang dimiliki oleh setiap individu-individu, yang tak boleh dibatasi, tetapi aktif membatasi kebebasan individu yang lain, ketika dicegah membatasi, lalu menggugat dengan bahasa membatasi kebebasannnya. Teriak bahwa rakyat bebas mengawasi Negara dan lembaga negaranya, tetapi melarang negara mengawasi rakyatnya. Adapula lembaga Negara takut diawasi, tetapi sangat bernafsu dan ingin bebas mengawasi individu-individu sebagai warga Negara. Disinilah terkadang membuat negera ini berada dalam kubangan kelam masa depannya, dimana individunya sendiri yang menjadi penyakit dalam hidup berdemokrasi. Negara harus turut hadir, Negara hadir dicap sebagai pelanggar hak kebebasan, Negara tak hadir dianggap sebagai penghianatan kedaulatan rakyat. Memang membingungkan hidup dengan narasi demokrasi tak berjenis kelamin ini.

Penyakit inipun semakin menggerogoti nalar kebangsaan, ketika praktisi, akademisi dan penggiat demokrasi hadir bukan sebagai obat penyehat pemahaman demokrasi, tetapi semakin menambah luka dan virus kekaburan dalam memahami demokrasi dengan segala tindakan menolak demokrasi ala Liberalistik, tapi menyuntikkan gagasan demokrasi dengan warna liberalistik pula.  Dilain pihak menolak demokrasi Otoritarian, tapi gagasannya dan perilakunya sangat Otoritarian dengan memaksakan kehendaknya. Sebenarnya mereka ini siapa ?

Kita tentu sepakat bahwa titik fokus sebuah sistem demokrasi ada pada individu manusianya. Semakin cerdas menusianya, maka semakin sehat cara berdemokrasinya, semakin bodoh manusianya maka semakin rusak pula cara berdemokrasinya. Negara demokrasi adalah Negara yang memiliki individu-individu yang cerdas, karena baginya negara adalah bukan sebuah paksaan, tetapi alamiah pada dirinya, sehingga dasar itulah kemudian manusia disebut sebagai mahluk politik. Seperti kata Aristoteles, adanya negara adalah sesuatu yang alamiah, karena manusia, pada hakekatnya, adalah mahluk politis. Dengan kata lain, karena manusia, secara alamiah, adalah mahluk politis, maka negara, sebagai komunitas politis, pun juga adalah sesuatu yang ada secara alamiah. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang tak punya negara, atau yang tak tergabung dengan komunitas politis tersebut? Aristoteles secara jelas membedakan antara orang-orang yang tak memiliki negara secara sengaja di satu sisi, dan orang-orang yang terpaksa tidak memiliki negara. Orang-orang yang memilih untuk tak bernegara, bagi Aristoteles, adalah orang-orang yang jahat, yang sekaligus tidak mengenal hukum, pecinta perang dan kekacauan, serta kejam. Dengan inilah kemudian dapat disimpulkan bahwa individu sadar bahwa kebebasan, dan negara ini adalah bagian dari dirinya, maka perlu menetapkan hukum, tata cara dan sistem termaksud sistem demokrasi yang berfungsi mengatur jalannya sebuah negara secara baik dan bijaksana.

Pertanyaan kemudian, bagaimana sistem demokrasi yang sesungguhnya itu dipahami, agar kita tidak salah dan ambigu dalam memahaminya, serta tidak bertentangan dengan sifat alamiah individu sebagai warga negara yang ingin menerapkan sistem demokrasi tersebut. Karena salah memahami demokrasi tentu dapat merusak tata kelola Negara sesuai keinginaan alamiah seseorang bernegara. Untuk membatasi diri agar tidak terlalu luas dan bias memahami demokrasi, yang utama terlebih dulu kita lakukan adalah melakukan pendefinisian demokrasi agar tidak keluar dari esensinya itu sendiri. Dalam proses pendefinisian ada dua bentuk model definisi. Pertama, definisi verbal, dimana pendefinisiannya dalam pusaran kerangka istilah kata itu sendiri, dan menurut pendapat para ahli.

Kedua, definisi nyata atau subtansi kata tersebut, dimana definisi ini lebih menitikkan pada pengkajian makna sesungguhnya dengan tetap terikat pada istilah kata dalam menangkap makna dari kata demokrasi tersebut. Sejarah demokrasi  diawali oleh pidato Pericles di depan masyarakat Athena pada masa Yunani klasik sebelum masehi. Dalam perkembangannya selama beribu tahun terdapat paling kurang 550  definisi demokrasi yang ditemukan berdasarkan kajian pustaka yang dilakukan Collier dan Levitsky (1997). Pengertian dan pemahaman demokrasi yang menjadi sangat luas dan beragam ini menandakan bahwa model demokrasi tidaklah bersifat universal, tetapi berbeda-beda sesuai kebutuhan Negara penganut. 

Dalam kacamata subtansi makna demokrasi berarti Negara diatur berdasarkan kepentingan rakyat seluas-luasnya, yang kemudian terangkum bahwa demokrasi adalah sistem yang berbicara tentang kedaulatan bangsa berada ditangan rakyat. Artinya Negara itu dikatakan berdaulat, ketika rakyat sangat berdaulat ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, salah bentuk kedaulatan rakyat itu adanya kebebasan sebagai hak bagi rakyat.

Hanya kita tidak boleh berhenti pada tahapan kedaulatan rakyat sebagai finalisasi pengertian demokrasi, karena pengertian dalam arti pemeritahan oleh rakyat atau kedaulatan rakyat masih membingungkan, dan ketika berdiri sendiri dapat dipandangan sebagai konsep yang masih ambigu. Olehnya itu, fakta sejarah menyatakan bahwa demokrasi pertama kali dibicarakan dalam sebuah komunitas masyarakat di Yunani atau lebih khususnya di Athena, yang kemudian prinsip kedaulatan rakyat itu sangat bercirikan dengan modal hukum, budaya dan tradisi masyarakat Athena atau Yunani pada waktu itu. Dalam artian bahwa sistem demokrasinya tunduk pada kebiasaan masyarakat Yunani dengan beserta perangkat hak-hak kebebasannya yang dipahaminya. Artinya demokrasi pada masa kemunculannya itu sangat terikat dengan hukum budaya,dan tradisi sebagai bentuk kedaulatan rakyatnya. Begitupun seharusnya negara lain, demokrasinya terikat dengan hukum, budaya dan tradisi negara penganutnya. Hukum, budaya, dan tradisi inilah sebagai sifat dari sebuah demokrasi, yang kemudian terangkum dalam bentuk yang kita kenal dengan sebutan ideologi.

Bagaimana bentuk, model dan sifat demokrasi sebuah Negara, dapat dilihat ideologi apa yang dianut Negara tersebut.  Itulah kemudian, kita tidak boleh serta merta serampangan teriak tentang demokrasi, apalagi melepaskan hal yang wajib melekat terhadap sistem demorkasi tersebut. Atas dasar itu pula kemudian, dalam mengkaji pengertian demokrasi khususnya dalam model definisi nyata kita melepaskan pengertian pandangan menurut para ahli, tujuannya untuk menghindari dogma pengertian dari latarbalakang kepentingan si pendapat, yang dimaksud latar belakang kepentingan adalah faktor ideologi para ahli yang mendefinisikan demokrasi. Karena sebuah keniscayaan bahwa kesimpulan seseorang tentang demokrasi pasti lahir dari ideologi yang melekat padanya. Bagi orang yang memiliki ideologi Individualisme akan berpendapat sesuai hukum, budaya dan tradisi Liberalistik, sedangkan bagi yang berpandangan Otoritarian pasti aka berpendapat sesuai dengan hukum, budaya dan tradisi Otoritarian.

“Perlu memahami secara nyata (subtansi) sesuatu, agar tak menjadi korban kegelian pemahaman”. Andi Muslimin


0 Komentar Anda:

Post a Comment