Dalam hidup ini, manusia tidak dapat menghindari yang
namanya politik. Memaknai kehidupan tentang apa dan bagaimananya untuk hidup itu
merupakan persoalan politik, makanya tidak sedikit pemikir mangatakan bahwa
sesungguhnya manusia itu adalah mahluk politik. Pusaran kehidupan berputar dalam
diagram kesemestiannya, dan manusia bergerak, penggerak dan penjewantah kesemestian
kehidupan itu. Dalam kajian-kajian fitrah, kita banyak menemukan kesimpulan
bahwa manusia selalu mengarah kepada kefitrahannya, dan fitrah dirumuskan
sebagai kehendak menuju pada kebaikan serta kesemestian itu, tabiatlah yang
terkadang yang datang merusaknya. Disinilah peran politik, berfungsi untuk
menciptakan ruang positif bagi kefitraan, dan menghambat laju tabiat dalam menguasai
hidup manusia.
Walaupun sebenarnya kita terkadang tersesat dalam
memahami alur narasi politik, mungkin karena bacaan yang ada menghimpit kita
dalam satu paradigma tentu, tanpa membandingkan paradigma politik yang lain. Sehingga
terkadang kita menyimpulkan bahwa politik itu pekerjaan yang jahat, tapi kenyataannya
kita hidup dalam alam proyek politik, negara sebagai contoh sederhananya. Kalaupun
kita sedikit sehat berfikir, terpaksa memilah dan mengamini pembagian politik dalam
kategori teoritis dan praktis. Kemudian mengultimatum diri bahwa politik
praktis itu yang buruk, padahal logika sebenarnyapun memperlihatkan bahwa keberlansungan
hidup sebuah masyarakat tergantung dari kebijakan politik praktis tersebut,
maka hasilnya pun orang baik menghindari politik praktis dan orang jahat yang
beromantisme dengannya. Pemilahan politik ini menjadi teoritis dan praktis
sebenarnya penyesatan dalam memahami politik, bahwa sesungguhnya politik itu
dari asalnya memang sudah praktis, maka harusnya jangan dipraktiskan lagi.
Hampir semua kajian keilmuan mengatakan bahwa politik
adalah gerak penjewantahan dari sebuah ideologi. Sehat ideologi seseorang, maka
sehatlah cara berpolitiknya. Inilah problem mendasar kita selama ini, kita
cenderung menyalahkan kegiatan politik itu kotor tanpa mengindetifikasi
ideologinya, akhirnya dalam setiap pemilu sebagai jalur konstitusi masyarakat,
kita tidak pernah memperhatikan factor ideologis seseorang dalam bilik suara,
timbulah yang mesti tidak pernah bertemu dengan mesti. Lahir kesenjangan dalam
dunia politik, karena kemestian ideologi tidak bertemu kemestiaan politiknya
pada manusia sebagai penggeraknya, sehingga kebaikan tersisi, dan buruk yang
menguasai.
Manusia tentu mudah memahami bahwa hidup itu adalah
persimpangan antara baik dan jahat, baik mampu dipahami, sedangkan jahat juga
kemudian mampu dipahami, karena kedua-duanya mampu dipahami. Saya meyakini,
bangsa Indonesia adalah bangsa yang berdiri karena memiliki keyakinan untuk kebaikan,
sehingga butuh tata kelola agar baik itu tak tercampur dengan yang jahat, atau
sedikitnya jahat mampu ditekan dengan kebaikan. Untuk menekan kejahatan dengan
kebaikan, maka disinilah dibutuhkan tata kelola, agar manusia secara kolektif
mampu terhindar dari kejahatan yang sistemis, peran penting inilah yang
seharusnya dijalankan oleh manusia dengan politik.
Rumusan umum menyatakan bahwa politik adalah tata
kelola bersifat universal tentang sesuatu yang mestinya dilakukan, karena
itulah kemudian politik tidak statis tetapi dinamis. Mengapa demikian ?, karena
kehidupan itupula tidak statis tetapi terus bergerak menuju kemajuan dan
pembaharuan. Kemudian siapa saja literature
yang dinamis itu ?, jawabanya adalah setiap warga Negara baik dalam bentuk
komunitas atau sebuah pergerakan, yang dinamakan sebagai media politik, dalam
bahasa sistem sebagai input dalam melahirkan kebijakan politik. Maka pernyataan
bahwa gerakan apapun namanya bukanlah gerakan politik itu juga adalah
pernyataan yang sesat.
Olehnya itu, apapun model pergerakan itu merupakan
media politik, untuk itu patut disadari oleh media-media politik adalah
memahami konstalasi politik di Negara itu, kapanpun, dan pada bangsa manapun,
karena sesungguhnya konstalasi politik setiap negara sangat dipengaruhi oleh resonansi
dinamika (geo) politik global. Sederhananya, bahwa masyarakat akan
diperhadapkan oleh dua kepentingan, yakni kepentingan Nasional dan kepentingan
Global. Kepentingan nasional berkenaan seluruh aspek yang ada pada negera
tertentu, dan kepentingan global kepentingan yang ada diluar Negara tersebut. Maka
asumsi bahwa konflik nasional terjadi memiliki ikatan keterhubungan dengan konflik
global, asumsi ini bukanlah faktor kebetulan, tetapi disebut ketersambungan
kepentingan.
Atas dasar itu kemudian setiap pergerakan, hal pertama
dikaji adalah memahami alur cerita, agar tidak menimbulkan gesekan dengan
kepentingan nasional, caranya memahami isu konstalasi global, sehingga gerakan
apapun itu termaksud gerakan mahasiswa tidak menjadi perantara atau pemulus
dari kepentingan konflik global pada satu Negara tertentu. Misalnya, radikalisme
adalah program konflik atau issu global tertentu yang menyusup masuk untuk
merusak tatanan sebuah bangsa dengan pola berfikir dan tindakannya, yang
kemudian Negara melihatnya ini sebagai sebuah aktifitas yang berbahaya, sehingga
pemerintah dalam hal ini memasukkannya sebagai program kepentingan nasional
yang harus dilawan. Maka komunitas pergerakan yang betul-betul berjuang untuk
kepentingan umum, tentu kemudian harus paham dan menempatkan dirinya sebagai pejuang
kepentingan nasional, bukan sebagai pemulus kepentingan global, atau dengan
bahasa lain adalah ikut gegap gempita memberikan sumbangsi terhadap kelompok
perusak tersebut.
Memahami resonansi kepentingan adalah epicentrum awal
bagi sebuah pergerakan, agar kelompok pergerakan tidak menjadi media penyubur
dari program kepentingan asing yang mungkin saja bertujuan merusak kedaulatan
sebuah Negara. Resonansi yang artinya, bergetarnya suatu benda akibat
(pengaruh) getar dari benda lain. Semacam efek getaran atau getar yang
sambung-menyambung karena terhubung dalam dan/atau satu frekwensi. Itu definisi
ringkas dari resonansi.
Dengan demikian, tatkala mengamati dan mencermati perkembangan
politik nasional, kelompok pergerakan harus lebih tahu resonansi, minimal harus
mengetahui dan memahami terlebih dahulu seluk beluk apakah ada ego politik
global yang sering hadir sebagai pelaku epicentrum getaran. Entah dengan membaca
perkembangan isu aktual di level global, atau mengenali dahulu tema maupun agenda
yang tengah diusung para adidaya, yang kemudian disalurkan melalui
lembaga-lembaga tertentu yang ada di Indonesia sebagai perantara mereka. Ini penting
untuk dipahami oleh setiap kelompok, dengan memahami skema yang terjadi di
dunia, komunitas pergerakan dapat memilah melakukan apa dengan cara apa. Tanpa memahami,
bisa saja cara yang kita lakukan adalah harapan atau cita-cita yang ingin
mereka lakukan, yang belum terlaksana.
Memahami pola resonansi agar dunia
pergerakan juga tidak kabur dalam memahami persoalan dan kemungkinan kehilangan
kepercayaan oleh masyarakat, bahwa betul penumpang gelap dalam dunia gerakan
selalu ada, hanya yang perlu ditakutkan bahwa penumpang gelap tersebut adalah
resonansi ego global yang bertujuan merusak kedamaian serta menghembuskan
ketakutan di tengah masyarakat. Serta pelaku-pelaku gerakan tidak
terombang-ambing dalam lautan hoax,
tertipu oleh false flag operation dan
lain sebagainya.
“Ideology tak sesuai dengan
manusia, hanya akan memberikan ketakutan dan kesengsaraan bagi manusia”. Andi
Muslimin
0 Komentar Anda:
Post a Comment