Pages

Monday, 30 September 2019

Gersangnya Nalar Intelektual Muda


Rusuh itulah riuh narasi kehidupan yang terjadi beberapa hari belakang ini, di negeri dikenal dengan ideologi Pancasilanya. Elemen- elemen intelektual muda (katanya) turun memenuhi panggung demontrasi dengan teriakan-teriakan kekecewaan, mungkin juga sinis maupun bernada ancaman. Dalam dunia demokratis itu telah menjadi biasa, sedikitnya pernyataan ini banyak diamini kebanyakan orang. 

Gerakan aksi massa elemen intelektual muda, walaupun tidak sedikit yang tua-tua ikut nimbrung teriak karena mungkin gagal move on dalam kontestasi politik, menjadi gelombang riuh sebagai sombol dalam ruang-ruang kritis, yang dianggap  pelanjut estafet para pendahulu yang berhasil menumbang rezim otoritatarian yang berpernah berlaku di bangsa ini.

Tentu tindakan aksi massa bukan sebuah hal yang tabu untuk dilakukan, yang memang seharusnya elemen intelektual muda tidak boleh tinggal diam, tetapi tetap kritis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan maksud agar tetap berada poros cita-cita dan tujuan berdirinya Negara republik Indonesia. Tetapi bagaimana kiranya ketika sikap kritis yang terpatri dalam diri intelektual muda bangsa ini, berbanding lurus dengan krisis intelektual yang merasukinya.

Pelabelan elemen intelektual muda harus tetap bersikap kritis, seharusnya bermakna sama bahwa kritis karena tahu. Tapi apa jadinya kritis tapi bermakna tidak tahu, tentu yang hadir adalah masalah menggerogiti tatanaan persatuan dan ketertiban umum bangsa ini dengan luapan gerakan massa turun ke jalan bukan membawa solusi masalah, tetapi lebih condong membawa amarah angkara murka. Mungkin amarah untuk melawan kedzaliman adalah penting, tapi sebaliknya amarah yang tidak punya landasan kemarahan dan cenderung di awali oleh ketidaktahuan inilah yang menjadi masalah.

Narasi yang tergaungkan dari serpihan-serpihan perjuangan intelektual muda yang nampak di negeri ini, tidak lain hanya sebuah kebisingan serta kegersangan intelektual melekat di pojok otak mereka, sehingga menghasilkan gerakan-gerakan buta dan nihil memahami masalah, sehingga nampak bahwa mereka hanyalah mahluk-mahluk dengan elemen ngotot berjuang mengatasnamakan rakyat, tapi tersandera label kebenaran gersang akan nilai.

Apakah ini berbahaya ?

Tidak hanya berbahaya, tapi juga menakutkan bagaikan monster penghisap darah kebenaran. Dapat dilihat ketika kemudian ada seseorang atau kelompok lain melakukan kritikan terhadap perangai tersebut, maka cap dan tuduhan partisan, tak punya hati dan bersekongkol dengan pemerintah maupun politisi akan bersetubuh dengan kebenaran sepihaknya. Padahal kita tahu, logika sehat mengatakan bahwa pembelaan seseorang bukan saja karena didasari oleh keberpihakannya pada pemerintah atau politisi tetapi karena subtansi konten yang diperjuangkan oleh intelektual muda yang dianggap jauh apa yang seharusnya diperjuangkan.

Belum lagi sekiranya apa yang diperjuangkan telah sampai pada titik kesepakatan, tentu gerakan itu harus berhenti dengan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak layak dilakukan seperti merusak fasilitas umum dan lain sebagainya. Tetapi bayangan ideal itu ternyata harus tergadai dari luapan-luapan bising nan merusak, padahal yang seharusnya telah final dan kemenangan berada dipihak mereka. Tapi terus bergerak yang tidak lain hanya dipandang sebagai perebutan lahan citra tentang kisah-kisah kehebatan, walau dengan gaya dan narasi paroligisme yang menggelikan.

Pagelaran citra yang mungkin bagi saya lebih tepat untuk menilai semuanya ini, tidak lebih jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kebanyakan politisi, atau bisa saja adalah bagian untuk semakin memuluskan kepentingan politisi tertentu yang memang tidak menginginkan bangsa ini jalan sesuai cara-cara kehidupan yang harmonis, walaupun itu tidak terkoneksi secara langsung.

Kita sebenarnya menunggu semangat intelektual muda yang betul-betul berjuang demi mengurusi tentang hak dasar orang banyak, melalui pendekatan pengkajian yang mendalam tentang kebutuhan dasar tersebut. Bukan terjebak serpihan-serpihan aksidental masalah yang hanya fenomena tapi bukan kebutuhan nomena rakyat. Kita pula sangat berharap intelektual muda tidak terjebak dalam kubangan pemikiran sempit, bahwa tahu bukan prasyarat penting sebuah gerakan dan perjuangannya. Jika kemudian seperti itu landasannya, maka dipastikan bahwa semua ini hanya pagelaran citra yang terjangkiti nalar nable selves. Sebuah penyakit dalam kajian tipe komunikator dalam kajian llmu komunikasi, yang memiliki pengertian bahwa orang atau individu yang hanya menganggap dirinya memiliki personal ideal, superior dan sulit menerima kritik hanya mau mengkritik.

Jika mental dan nalar nable selves ketika telah terpatri dalam pikiran elemen muda, maka akan menganggap bahwa kritik yang dilakukannya adalah kebenaran, dan yang bertentangan dengan kritikannya dianggap sebagai persengkongkolan pada yang jahat. Bahayanya mereka juga menganggap bahwa merusak, kegaduhan penting untuk dilakukan karena itu bagian dari kebenaran itu sendiri. Tentu kita sepakat bahwa kritik adalah modul yang berisikan masalah-masalah, yang kemudian berujung pada perbaikan, tetapi apa jadinya ketika modul yang berseliweran adalah hujatan yang didasari oleh ketidaktahuan masalah. Maka yang ada hanya tontonan lucu lagi menakutkan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, dan semoga saja ini bukan karena nyaman dengan hal itu, nyaman demi segompok duit, nyaman demi citra, nyaman demi publisitas, dan nyaman demi populer.


“ Kalau hanya sekadar citra dalam bayangan realitasmu, tentu kita tak dapat mengalahkan indahnya beo dengan buluh dan pandai meniru bunyi”. Andi Muslimin