Alangkah
beratnya beban yang ditanggung oleh bangsa ini, terlepas dari jeratan orde baru
menuju alam demokrasi, belum mampu memberikan angin segar bagi kemajuan dan
kedewasaan dalam berpolitik. Namun, semakin jauh dari skema besar yang telah
ditancapkan oleh para pendahulu bangsa ini dengan terkotak-kotaknya masyarakat dari
narasi demokrasi yang digaungkan elit politik yang minim prestasi dan nihil sinitasi
diri. Mungkin kita perlu membaca lagi, lalu merenungkan secara mendalam dengan
hati bersih, bagaimana gagasan besar yang diinginkan oleh pendiri bangsa, agar
proses dan praktek demokrasi tidak keluar dari panggung sejarah dan asupan
demokrasi yang sesungguhnya dari gegap gempitanya panggung politik.
Demokrasi
dengan simbol kebebasan perpendapat dan berekspresi seharusnya berisi gagasan-gagasan
kaya makna, telah dimaknai miskin makna dengan bebas tanpa batas mengutarakan
apa saja dibenak masing-masing walau mengandung sentimen tribalistik. Atasnama kebebasan
berpendapat ini pula dijadikan tameng perlindungan dari gegap gempitanya mengumbar
narasi-narasi kebencian antar sesama di ruang-ruang publik. Tahun
politik adalah zona paling nyaman untuk melakukan semua ini, karena dianggap
tempat paling tepat dan efesien untuk meraup perhatian publik. Salah satu yang
sangat fenomenal dan masih hangat dibenak kita adalah propaganda ganti presiden
yang berbalut kebencian digaungkan oleh elit PKS, cenderung dianggap biasa karena
masih dianggap prosedural dalam berdemokrasi.
Dalam
realitas prosedural itu pula, inkonsistensi narasi berdemokrasi telah dilanggar
dengan berbagai kekerasan psikis sampai fisik, dari persekusi hingga
memenjarakan seseorang karena hanya mengkritik volume suara toa dianggap
sebagai penodaan agama, sedangkan kelompok-kelompok yang bebas memprogandakan
kebencian dianggap sah sebagai bentuk ekspresi di alam demokrasi. Adegium berdemokrasi
yang menggelikan, dimana hak bebas berpendapat, hanya menjadi milik kelompok dan
kondisi tertentu saja.
Inilah
iklim demokrasi yang berlangsung di tengah kita saat ini, sangat jauh dari
subtansi demokrasi yang menjadi harapan untuk melindungi segenap
warga negara, apapun golongannya hanya sebatas kerinduan. Demokrasi subtantif
hanya akan menjadi mimpi, ketika elit politik masih tidak bisa memastikan
bahwa dalam tahun politik terbebas kepentingan biopolitik (politik identitas) yang
berbalut perpecahan oleh para calon calon anggota legislatif, serta calon
presiden dan wakil presiden.
Permainan
olah kata dan simbol interaction
propaganda, untuk menyampaikan dan mempengaruhi nalar masyarakat, tentu
saja tidak menjadi masalah. Jika dilakukan tidak berisi ujaran kebencian serta
membawa isu SARA. Ukuran bahwa elit politik serius dalam menciptakan demokrasi yang
sehat, ketika elit politik telah mampu menghadirkan kebijakan yang imparsial
yaitu menjunjung tinggi kesetaraan, keberagaman,berkeadilan, berkerakyatan, dan
memiliki perhatian khusus terhadap rakyat yang kurang beruntung.
Sudah
saatnya elit dan partai politik menampilkan narasi yang rasional dan egaliter,
dengan tidak mencederai proses demokrasi dengan sentimen-sentimen kebencian yang
justru menjadi kontraproduktif dalam mewujudkan demokrasi yang sehat. Sudah saatnya
pula elit dan parpol melepas tali penyaderaan terhadap demokrasi, agar praktik
demokrasi semakin dekat dari subtansi yang sesungguhnya, dengan melaksanakan
titah UU Parpol, khususnya pendidikan politik terhadap masyarakat maupun
kadernya. Menjamurnya perilaku kebencian, berita hoax (palsu) hingga menghalalkan
politik uang adalah bukti bawa parpol gagal melaksanakan UU Parpol.
Catatan
hitam kegagalan parpol dalam melaksanakan UU Parpol dapat dilihat dalam kasus
Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pilgub Jabar tahun 2018, dimana isu kebencian
berkembang biak yang memiliki modus operandi yang relatif sama. Jika modus Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan
Pilgub Jabar tahun 2018 terulang kembali di tahun 2019, maka semakin menambah langkah mundur dalam
demokrasi kita dan merupakan preseden yang amat sangat buruk bagi tumbuh
kembang demokrasi di masa depan.