Pages

Monday, 3 September 2018

Demokrasi Tersandera Tahun Politik


Alangkah beratnya beban yang ditanggung oleh bangsa ini, terlepas dari jeratan orde baru menuju alam demokrasi, belum mampu memberikan angin segar bagi kemajuan dan kedewasaan dalam berpolitik. Namun, semakin jauh dari skema besar yang telah ditancapkan oleh para pendahulu bangsa ini dengan terkotak-kotaknya masyarakat dari narasi demokrasi yang digaungkan elit politik yang minim prestasi dan nihil sinitasi diri. Mungkin kita perlu membaca lagi, lalu merenungkan secara mendalam dengan hati bersih, bagaimana gagasan besar yang diinginkan oleh pendiri bangsa, agar proses dan praktek demokrasi tidak keluar dari panggung sejarah dan asupan demokrasi yang sesungguhnya dari gegap gempitanya panggung politik.

Demokrasi dengan simbol kebebasan perpendapat dan berekspresi seharusnya berisi gagasan-gagasan kaya makna, telah dimaknai miskin makna dengan bebas tanpa batas mengutarakan apa saja dibenak masing-masing walau mengandung sentimen tribalistik. Atasnama kebebasan berpendapat ini pula dijadikan tameng perlindungan dari gegap gempitanya mengumbar narasi-narasi kebencian antar sesama di ruang-ruang publik. Tahun politik adalah zona paling nyaman untuk melakukan semua ini, karena dianggap tempat paling tepat dan efesien untuk meraup perhatian publik. Salah satu yang sangat fenomenal dan masih hangat dibenak kita adalah propaganda ganti presiden yang berbalut kebencian digaungkan oleh elit PKS, cenderung dianggap biasa karena masih dianggap prosedural dalam berdemokrasi.

Dalam realitas prosedural itu pula, inkonsistensi narasi berdemokrasi telah dilanggar dengan berbagai kekerasan psikis sampai fisik, dari persekusi hingga memenjarakan seseorang karena hanya mengkritik volume suara toa dianggap sebagai penodaan agama, sedangkan kelompok-kelompok yang bebas memprogandakan kebencian dianggap sah sebagai bentuk ekspresi di alam demokrasi. Adegium berdemokrasi yang menggelikan, dimana hak bebas berpendapat, hanya menjadi milik kelompok dan kondisi tertentu saja.

Inilah iklim demokrasi yang berlangsung di tengah kita saat ini, sangat jauh dari subtansi demokrasi yang menjadi harapan untuk melindungi segenap warga negara, apapun golongannya hanya sebatas kerinduan. Demokrasi subtantif hanya akan menjadi mimpi, ketika elit politik masih tidak bisa memastikan bahwa dalam tahun politik terbebas kepentingan biopolitik (politik identitas) yang berbalut perpecahan oleh para calon calon anggota legislatif, serta calon presiden dan wakil presiden.

Permainan olah kata dan simbol interaction propaganda, untuk menyampaikan dan mempengaruhi nalar masyarakat, tentu saja tidak menjadi masalah. Jika dilakukan tidak berisi ujaran kebencian serta membawa isu SARA. Ukuran bahwa elit politik serius dalam menciptakan demokrasi yang sehat, ketika elit politik telah mampu menghadirkan kebijakan yang imparsial yaitu menjunjung tinggi kesetaraan, keberagaman,berkeadilan, berkerakyatan, dan memiliki perhatian khusus terhadap rakyat yang kurang beruntung.

Sudah saatnya elit dan partai politik menampilkan narasi yang rasional dan egaliter, dengan tidak mencederai proses demokrasi dengan sentimen-sentimen kebencian yang justru menjadi kontraproduktif dalam mewujudkan demokrasi yang sehat. Sudah saatnya pula elit dan parpol melepas tali penyaderaan terhadap demokrasi, agar praktik demokrasi semakin dekat dari subtansi yang sesungguhnya, dengan melaksanakan titah UU Parpol, khususnya pendidikan politik terhadap masyarakat maupun kadernya. Menjamurnya perilaku kebencian, berita hoax (palsu) hingga menghalalkan politik uang adalah bukti bawa parpol gagal melaksanakan UU Parpol.

Catatan hitam kegagalan parpol dalam melaksanakan UU Parpol dapat dilihat dalam kasus Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pilgub Jabar tahun 2018, dimana isu kebencian berkembang biak yang memiliki modus operandi yang relatif sama. Jika  modus Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pilgub Jabar tahun 2018 terulang kembali di tahun 2019,  maka semakin menambah langkah mundur dalam demokrasi kita dan merupakan preseden yang amat sangat buruk bagi tumbuh kembang demokrasi di masa depan.