Pages

Sunday, 10 December 2017

Sekolah & Pendidikan Pancasila

Pendidikan adalah gerbang sebuah bangsa untuk menjadi maju dan memiliki kepribadian, sekaligus menjadi perantara generasi bangsa untuk berkarya dan saling menginspirasi dalam setiap hidup dan kehidupan dalam berbangsa serta bernegara.  Banyak yang berkata, bahwa pendidikan  adalah  bekal untuk maju dan berdayanya individu maupun masyarakat. Tentu ini membuktikan pendidikan sangat penting, yang tidak boleh dibatasi hanya ruang (pengetahuan) tertentu saja. Bahwa keseluruhan pendidikan, telah berlaku niscahaya untuk diketahui oleh semua warganegara. Dengan demikian pendidikan sangat wajib untuk setiap orang, tentu ini pula berlaku secara niscahaya (mutlak) pada Pancasila. Apalagi Pancasila merupakan sebuah dasar atau ideologi bangsa, kewajibannya lebih tinggi dari pengetahuan-pengetahuan umum lainnya, yakni wajibnya untuk diketahui selaras dengan wajibnya untuk diamalkan. Pertanyaan kemudian, bagaimana bentuk pendidikan Pancasila di sekolah ?  Apakah telah sesuai dengan wajibnya Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup manusia Indonesia ?

Jika Pancasila sebagai salah satu pendidikan yang kewajibannya melebihi dari pengetahuan umum yang harus diketahui, khususnya oleh setiap pelajar, maka kualitas dan kuantitasnya harus pula melebihi dari lainnya. Artinya, pendidikan umum harus lebih rendah dari pendidikan Pancasila, karena Pancasila sebagai dasar dari segala bentuk Pendidikan. Tapi jika menelisik dari berbagai pengalaman kekinian, membuktikan semuanya itu jauh dari panggang. Ini bisa kita buktikan ketika pendidikan Pancasila diukur dalam jumlah “waktu” dalam dunia pendidikan di sekolah-sekolah hanya seperti hiburan pembuka dari pengetahuan-pengetahuan yang dipelajari. Contohnya, pendidikan Pancasila hanya disiapkan 2 jam dalam setiap minggunya, itupun berbentuk dalam disiplin pendidikan kewarganegaraan, berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya disiapkan waktu 3-4 jam dalam setiap minggunya. Gambaran sederhana ini sedikitnya memberikan gambaran bahwa Pancasila tidak lebih mendasar dari pengetahuan-pengetahuan lainnya yang ada di sekolah-sekolah. Belum lagi ditambah kurangnya perhatian seorang pendidik dalam memahami Pancasila, serta membungkus cara dalam melakukan pendidikan Pancasila dengan  metode yang sangat membosankan. Maka tidak salah jika kemudian Pancasila sangat tidak dipahami oleh setiap siswa, dan cenderung telah terasing di benak setiap siswa.

 Perilaku yang tidak seimbang ini, antara pemahaman sebagai dasar negara dengan penanamannya di benak setiap siswa, menyebabkan siswa tidak lagi mengenal jati diri bangsanya yang sekaligus pula menjadi jati dirinya sebagai warganegara. Kondisi inipun memunculkan keprihatinan, dekandensi moral siswa terjadi di setiap lini kehidupannya, tindak kekerasan dan rasa malu tidak lagi menjadi penting selama bisa eksis.  Banyak faktor yang kemudian membuat Pancasila menjadi terasing di negeri sendiri, selain persoalan “waktu” lamanya siswa diberikan pendidikan Pancasila seperti yang telah saya sebutkan diatas, yang kemudian sangat krusial adalah Pancasila kebanyakan dijelaskan hanya sebagai pemenuhan kewajiban kurikulum bukan sebagai pemenuhan kewajiban memahami Pancasila sebagai arahan, pedoman, petunjuk atau pandangan hidup wajib manusia Indonesia. Bahwa Pancasila menjadi arahan, pedoman, petunjuk dan pandangan hidup yang mengatur tentang mesti dan tidak mesti dilakukan sebagai manusia Indonesia, inilah yang kemudian banyak siswa tidak utuh dalam memahami Pancasila.

Subtansi Pancasila sebagai petunjuk, pedoman dan pandangan hidup yang tidak banyak diajarkan di sekolah-sekolah, inilah yang kemudian melahirkan kegagalan pelajar memahami Pancasila, yang akhirnya krisis moralpun terjadi. Salah satu contoh, ketika pelajar dihadapkan dengan perkembangan gadget dan aplikasi interaksi penunjang lainnya dalam dunia komunikasi dan informasi, bebas browsing tetapi tidak ada penjelasan bagaimana petunjuk, arahan dan pandangan hidup bergadget menurut Pancasila, yang kemudian menjadi pagar pelindung dari suguhan-suguhan yang tidak bermoral. Pancasila yang dibentuk oleh para pendiri bangsa sesungguhnya menetapkan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup bagi masyarakatnya mampu menjadi pelindung bagi keseluruhan kehidupan masyarakat temaksud para pelajar, tetapi kenyataan yang ada sangat berbeda. Bagaimana Pancasila dapat melindungi, kalau dalam dunia pendidikan saja Pancasila dianggap biasa dan tidak penting, bagaimana bisa melindungi jika Pancasila yang dipaparkan hanya sekedar dasar negara bukan sebagai pandangan hidup manusia Indonesia.

Lemahnya siswa melindungi dirinya dari perbuatan tidak bermoral, bukan karena lemahnya Pancasila, tapi lemahnya sekolah memberikan pemahaman Pancasila. Sesungguhnya peranan sekolah sebagai lokomotif utama dalam pendidikan Pancasila, sebagai penentu moral serta sopan santun para siswa, tentu pendekatan-pendekatan yang dilakukan harus sesuai dengan level Pancasila itu sendiri sebagai Pandangan hidup. Artinya, Pancasila harus dijelaskan sesuai pendekatannya sebagai pandangan hidup, dimana pandangan hidup memiliki ukuran yang mesti dan tidak mesti dilakukan. Bagaimana cara mesti yang dilakukan oleh setiap pelajar dalam memahami, bermain dan memanfaatkan gadget beserta aplikasi dan penujang lainnya.



*Ketika pelajar tidak mengerti lagi tentang Pancasila, selain hanya menghafal sila-persila. Maka ada yang salah dengan sistem & pendidikannya. Ketika pelajar tidak mengerti lagi tentang Pancasila, selain termotivasi memperbanyak harta dan popularitas, maka ada yang salah dari motivator atau pemberi contohnya*

Friday, 8 December 2017

Pancasila Masuk Sekolah